Riwayat alamiah penyakit (natural
history of disease) adalah deskripsi tentang perjalanan waktu dan perkembangan
penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan agen kausal
hingga terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan atau kematian, tanpa
terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun terapetik (CDC, 2010c).
Riwayat alamiah penyakit merupakan salah satu elemen utama epidemiologi
deskriptif (Bhopal, 2002, dikutip Wikipedia, 2010). Riwayat alamiah penyakit
perlu dipelajari. Pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit sama pentingnya
dengan kausa penyakit untuk upaya pencegahan dan pengendalian penyakit. Dengan
mengetahui perilaku dan karakteristik masing-masing penyakit maka bisa
dikembangkan intervensi yang tepat untuk mengidentifikasi maupun mengatasi
problem penyakit tersebut (Gordis, 2000; Wikipedia, 2010). Gambar 4.1
menyajikan kerangka umum riwayat alamiah penyakit.
Perjalanan penyakit dimulai dengan
terpaparnya individu sebagai penjamu yang rentan (suseptibel) oleh agen kausal.
Paparan (exposure) adalah kontak atau kedekatan (proximity) dengan sumber agen
penyakit. Konsep paparan berlaku untuk penyakit infeksi maupun non-infeksi.
Contoh, paparan virus hepatitis B (HBV) dapat menginduksi terjadinya hepatitis
B, paparan stres terus-menerus dapat menginduksi terjadinya neurosis, paparan
radiasi menginduksi terjadinya mutasi DNA dan menyebabkan kanker, dan
sebagainya. Arti “induksi” itu sendiri merupakan aksi yang mempengaruhi terjadinya
tahap awal suatu hasil, dalam hal ini mempengaruhi awal terjadinya proses
patologis.
Jika terdapat tempat penempelan
(attachment) dan jalan masuk sel (cell entry) yang tepat maka paparan agen
infeksi dapat menyebabkan invasi agen infeksi dan terjadi infeksi. Agen infeksi melakukan multiplikasi yang
mendorong terjadinya proses perubahan patologis, tanpa penjamu menyadarinya. Periode
waktu sejak infeksi hingga terdeteksinya infeksi melalui tes laboratorium/
skrining disebut “window period”. Dalam “window period” individu telah
terinfeksi, sehingga dapat menularkan penyakit, meskipun infeksi tersebut belum
terdeteksi oleh tes laboratorium. Implikasinya, tes laboratorium hendaknya
tidak dilakukan selama “window period”, sebab infeksi tidak akan terdeteksi.
Contoh, antibodi HIV (human immuno-deficiency virus) hanya akan muncul 3 minggu
hingga 6 bulan setelah infeksi. Jika tes HIV dilakukan dalam “window period”,
maka sebagian besar orang tidak akan menunjukkan hasil positif, sebab
dalam tubuhnya belum diproduksi antibodi. Karena itu tes HIV hendaknya ditunda
hingga paling sedikit 12 minggu (3 bulan) sejak waktu perkiraan paparan. Jika
seorang telah terpapar oleh virus tetapi hasil tes negatif, maka perlu dipertimbangkan tes ulang 6 bulan kemudian.
Selanjutnya berlangsung proses promosi pada tahap preklinis, yaitu keadaan
patologis yang ireversibel dan asimtomatis ditingkatkan derajatnya menjadi
keadaan dengan manifestasi klinis (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002). Melalui
proses promosi agen kausal akan meningkatkan aktivitasnya, masuk dalam formasi
tubuh, menyebabkan transformasi sel atau disfungsi sel, sehingga penyakit menunjukkan
tanda dan gejala klinis.
Dewasa ini telah dikembangkan sejumlah
tes skrining atau tes laboratorium untuk mendeteksi keberadaan tahap preklinis
penyakit (US Preventive Services Task Force, 2002; Barratt et al., 2002;
Champion dan Rawl, 2005). Waktu sejak penyakit terdeteksi oleh skrining hingga
timbul manifestasi klinik, disebut “sojourn time”, atau detectable preclinical
period (Brookmeyer, 1990; Last, 2001; Barratt et al., 2002). Makin panjang
sojourn time, makin berguna melakukan skrining, sebab makin panjang tenggang
waktu untuk melakukan pengobatan dini (prompt treatment) agar proses patologis
tidak termanifestasi klinis. Kofaktor yang mempercepat progresi menuju penyakit
secara klinis pada sojourn time (detectable preclinical period) disebut
akselerator atau progresor (Achenbach et al., 2005). Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen
kausal hingga timbulnya manifestasi klinis disebut masa inkubasi (penyakit
infeksi) atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum
menampakkan tanda dan gejala klinis, disebut penyakit subklinis
(asimtomatis). Masa inkubasi bisa
berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi toksik atau hipersentivitas.
Contoh, gejala kolera timbul beberapa jam hingga 2-3 hari sejak paparan dengan
Vibrio cholera yang toksigenik. Pada penyakit kronis masa inkubasi (masa laten)
bisa berlangsung sampai beberapa dekade. Kovariat yang berperan dalam masa laten
(masa inkubasi), yakni faktor yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit
secara klinis, disebut faktor risiko. Sebaliknya, faktor yang menurunkan risiko
terjadinya penyakit secara klinis disebut faktor protektif.
Selanjutnya terjadi inisiasi penyakit
klinis. Pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan gejala (symptom) penyakit
secara klinis, dan penjamu yang mengalami manifestasi klinis disebut kasus klinis.
Gejala klinis paling awal disebut gejala prodromal. Selama tahap klinis,
manifestasi klinis akan diekspresikan
hingga terjadi hasil akhir/ resolusi penyakit, baik sembuh, remisi, perubahan
beratnya penyakit, komplikasi, rekurens, relaps, sekuelae, disfungsi sisa,
cacat, atau kematian. Periode waktu untuk mengekspresikan penyakit klinis hingga
terjadi hasil akhir penyakit disebut durasi penyakit. Kovariat yang
mempengaruhi progresi ke arah hasil akhir penyakit, disebut faktor prognostik (Kleinbaum
et al., 1982; Rothman, 2002). Penyakit penyerta yang mempengaruhi fungsi
individu, akibat penyakit, kelangsungan hidup, alias prognosis penyakit,
disebut ko-morbiditas (Mulholland, 2005). Contoh, TB dapat menjadi
ko-morbiditas HIV/AIDS yang meningkatkan risiko kematian karena AIDS pada
wanita dengan HIV/AIDS (Lopez-Gatell et al., 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar