Etika dan hukum
Etika
adalah aturan bertindak atau berperilaku dalam suatu masyarakat tertentu atau
komunitas. Sedangkan hukum adalah aturan berperilaku masyarakat dalam suatu
masyarakat atau negara yang ditentukan atau dibuat oleh para pemegang otoritas
atau pemerintah negara, dan tertulis. Di bidang kesehatan, terdapat etika
profesi dan hukum kesehatan yang mengatur hak dan kewajiban para tenaga
kesehatan (Notoatmojo, 2010).
Untuk
menduduki tugas dan fungsi sesuai dengan jenis tenaga kesehatan, maka tenaga
kesehatan harus mempunyai kemampuan atau keterampilan sesuai dengan jenis dan
kualifikasi tenaga kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1996 diatur ketentuan sebagai berikut.
a. Tenaga
Kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang
dinyatakan dengan ijazah dari
lembaga atau institusi pendidikan.
b. Tenaga
Kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang
bersangkutan memiliki izin dari menteri. Persyaratan ini dikecualikan bagi
tenaga kesehatan masyarakat.
c. Selain
izin dari menteri, bagi tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari
lembaga pendidikan di luar negeri harus melakukan adaptasi terlebih dahulu di fakultas atau lembaga pendidikan dokter negeri di Indonesia (Notoatmijdo, 2010).
Para tenaga atau petugas
kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan terikat pada etika dan hukum,
atau etika dan hukum kesehatan. Sebagai pelayan kesehatan masyarakat, perilaku
petugas kesehatan harus tunduk pada :
1.
Etika Profesi Kesehatan
Etika profesi
merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi
tertentu dalam memberikan pelayanan atau jasa kepada masyarakat. Etika profesi
kesehatan adalah norma-norma atau perilaku bertindak bagi petugas atau profesi
kesehatan dalam melayani kesehatan masyarakat. kode etik profesi dibuat untuk
mengatur perilaku masing-masing profesi atau tenaga kesehatan. Kode etik profesi
adalah suatu aturan tertulis tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh semua
anggota profesi dalam menjalankan pelayanannya terhadap masyarakat. Kode etik
ini mengatur kewajiban-kewajiban anggota. Agar setiap profesi kesehatan
senantiasa berpegang teguh dan berperilaku sesuai dengan kehormatan profesinya,
maka sebelum menjalankan tugas profesinya diwajibkan mengangkat sumpah, sebagai
janji profesi baik untuk umum (kemanusiaan), untuk pasien, teman sejawat, dan
untuk diri sendiri. Sumpah dan atau janji ini oleh masing-masing profesi telah
dirumuskan secara cermat (Notoatmodjo, 2010).
a.
Lafal sumpah atau janji dokter
Demi Allah saya bersumpah/berjanji:
a)
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
b)
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur
jabatan kedokteran.
c)
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan
bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
d)
Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat.
e)
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan keilmuan saya sebagai dokter.
f)
Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu
yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
g)
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
h)
Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik
kepartaian, atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita.
i)
Saya akan menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan.
j)
Saya akan memberikan kepada guru-guru dan rekan guru-guru saya
penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.
k)
Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri
ingin diperlakukan.
l)
Saya akan menaati dan mengamalkan kode etik kedokteran Indonesia.
m)
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertruhkan
kehormatan diri saya.
b.
Lafal sumpah atau janji sarjana keperawatan
Demi Allah saya
bersumpah/berjanji bahwa:
a)
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan,
terutama dalam bidang keperawatan.
b)
Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai martabat
dan tradisi luhur jabatan keperawatan.
c)
Saya akan merahasiakan sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya
dan keilmuan saya sebagai sarjana keperawatan.
d)
Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan keperawatan
untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan.
e)
Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan
sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan,
kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.
f)
Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh
keinsafan (Hanafiah, 1999).
2. Hukum kesehatan
Hukum
adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam
mengatur pergaulan hidup bermasyarakat. Hidup dalam suatu masyarakat atau
Negara diperlukan aturan-aturan yang secara tertulis yang disebut hukum. Hukum
tertulis dikelompokan menjadi dua, yakni hukum perdata dan hukum pidana. Hukum
pidana adalah mengatur hubungan antara subjek dan subjek dalam konteks hidup
bermasyarakat dalam suatu negara. Dalam hukum pidana selalu terkait antara
seseorang yang melanggar hukum dengan penguasa (dalam hal ini pemerintah) yang
mempunyai kewenangan menjatuhkan hukuman. Dalam hukum pidana atau peraturan
mengenai hukuman, kedudukan pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan
masyarakat sebagai subjek hukum. Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum
yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan
penerapannya (Notoatmodjo, 2010). Dalam perundang-undangan
Indonesia, pengaturan tentang aborsi terdapat dalam dua undang-undang yaitu
KUHP & UU Kesehatan No. 36 Tahun
2009 yaitu:
Pasal 75
(1)
Setiap orang
dilarang melakukan aborsi.
(2)
Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia
dini kehamilan, baik yang mengancam ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan;
atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan
trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3)
Tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konselin dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung
dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib
melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggung
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 194
Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sumber: (Konsil
Kedokteran Indonesia, 2008).
Secara hukum, pengguguran
kandungan dengan alasan non-medis dilarang keras. Tindakan yang berkenaan
dengan pelaksanaan aborsi meliputi melakukan, menolong, atau menganjurkan
aborsi (Kusmiran, 2011). Tindakan ini diancam hukum pidana seperti yang diatur
dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yaitu sebagai berikut:
Pasal 346 KUHP
“Seseorang perempuan yang sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya diancam dengan pidana penjara sebesar-besarnya
selama 4 tahun”.
Pasal ini merupakan saksi pidana aborsi
yang ditujukan terhadap si ibu yang mengandung sendiri (Lestari, 2009).
Pasal 347 KUHP
1)
Barangsiapa
dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2)
Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Pasal ini merupakan kejahatan
pengguguran kandungan yang dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang
mengandung. Dalam hal ini perempuan tersebut tidak dapat dipidana (Lestari,
2009).
Pasal 348 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Dapat disimpulkan pasal
tersebut menjelaskan tentang kejahatan pengguguran kandungan yang dilakukan
atas persetujuan perempuan yang mengandung. Jadi dengan adanya persetujuan
bersama dalam melakukan kejahatan aborsi maka kedua pelakunya dapat dikenai sanksi pidana (Lestari, 2009).
Jika aborsi dilakukan
dengan bantuan tenaga medis maka ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 349
KUHP. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut. “Jika seorang dokter, bidan atau
juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan”
(Lestari, 2009).
Pasal 535 KUHP
Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana
untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta
menawarkan, ataupun secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa
diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian
itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar