Kamis, 19 Desember 2013

Etika dan Hukum yang Berhubungan dengan Aborsi




 Etika dan hukum
Etika adalah aturan bertindak atau berperilaku dalam suatu masyarakat tertentu atau komunitas. Sedangkan hukum adalah aturan berperilaku masyarakat dalam suatu masyarakat atau negara yang ditentukan atau dibuat oleh para pemegang otoritas atau pemerintah negara, dan tertulis. Di bidang kesehatan, terdapat etika profesi dan hukum kesehatan yang mengatur hak dan kewajiban para tenaga kesehatan (Notoatmojo, 2010).
Untuk menduduki tugas dan fungsi sesuai dengan jenis tenaga kesehatan, maka tenaga kesehatan harus mempunyai kemampuan atau keterampilan sesuai dengan jenis dan kualifikasi tenaga kesehatan tersebut. Oleh sebab itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 diatur ketentuan sebagai berikut.
a.       Tenaga Kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga atau institusi pendidikan.
b.      Tenaga Kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki izin dari menteri. Persyaratan ini dikecualikan bagi tenaga kesehatan masyarakat.

c.       Selain izin dari menteri, bagi tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri harus melakukan adaptasi terlebih dahulu di fakultas atau lembaga pendidikan dokter negeri di Indonesia (Notoatmijdo, 2010).
Para tenaga atau petugas kesehatan dalam melayani masyarakat, juga akan terikat pada etika dan hukum, atau etika dan hukum kesehatan. Sebagai pelayan kesehatan masyarakat, perilaku petugas kesehatan harus tunduk pada :
1.      Etika Profesi Kesehatan
Etika profesi merupakan norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan pelayanan atau jasa kepada masyarakat. Etika profesi kesehatan adalah norma-norma atau perilaku bertindak bagi petugas atau profesi kesehatan dalam melayani kesehatan masyarakat. kode etik profesi dibuat untuk mengatur perilaku masing-masing profesi atau tenaga kesehatan. Kode etik profesi adalah suatu aturan tertulis tentang kewajiban yang harus dilakukan oleh semua anggota profesi dalam menjalankan pelayanannya terhadap masyarakat. Kode etik ini mengatur kewajiban-kewajiban anggota. Agar setiap profesi kesehatan senantiasa berpegang teguh dan berperilaku sesuai dengan kehormatan profesinya, maka sebelum menjalankan tugas profesinya diwajibkan mengangkat sumpah, sebagai janji profesi baik untuk umum (kemanusiaan), untuk pasien, teman sejawat, dan untuk diri sendiri. Sumpah dan atau janji ini oleh masing-masing profesi telah dirumuskan secara cermat (Notoatmodjo, 2010).
a.       Lafal sumpah atau janji dokter
Demi Allah saya bersumpah/berjanji:
a)      Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
b)      Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.
c)      Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
d)     Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.
e)      Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter.
f)       Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
g)      Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
h)      Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita.
i)        Saya akan menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan.
j)        Saya akan memberikan kepada guru-guru dan rekan guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.
k)      Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan.
l)        Saya akan menaati dan mengamalkan kode etik kedokteran Indonesia.
m)    Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertruhkan kehormatan diri saya.
b.      Lafal sumpah atau janji sarjana keperawatan
Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa:
a)      Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang keperawatan.
b)      Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai martabat dan tradisi luhur jabatan keperawatan.
c)      Saya akan merahasiakan sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai sarjana keperawatan.
d)     Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan keperawatan untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan.
e)      Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.
f)       Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsafan (Hanafiah, 1999).
2.      Hukum kesehatan
Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup bermasyarakat. Hidup dalam suatu masyarakat atau Negara diperlukan aturan-aturan yang secara tertulis yang disebut hukum. Hukum tertulis dikelompokan menjadi dua, yakni hukum perdata dan hukum pidana. Hukum pidana adalah mengatur hubungan antara subjek dan subjek dalam konteks hidup bermasyarakat dalam suatu negara. Dalam hukum pidana selalu terkait antara seseorang yang melanggar hukum dengan penguasa (dalam hal ini pemerintah) yang mempunyai kewenangan menjatuhkan hukuman. Dalam hukum pidana atau peraturan mengenai hukuman, kedudukan pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat sebagai subjek hukum. Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya (Notoatmodjo, 2010). Dalam perundang-undangan Indonesia, pengaturan tentang aborsi terdapat dalam dua undang-undang yaitu KUHP & UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yaitu:
Pasal 75
(1)   Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2)   Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a.       indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan; atau
b.      kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma  psikologis bagi korban perkosaan.
(3)   Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konselin dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a.       Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
b.      Oleh tenaga kesehatan yang memiliki ketrampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c.       Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d.      Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e.       Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sumber: (Konsil Kedokteran Indonesia, 2008).
Secara hukum, pengguguran kandungan dengan alasan non-medis dilarang keras. Tindakan yang berkenaan dengan pelaksanaan aborsi meliputi melakukan, menolong, atau menganjurkan aborsi (Kusmiran, 2011). Tindakan ini diancam hukum pidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu sebagai berikut:
Pasal 346 KUHP
“Seseorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya diancam dengan pidana penjara sebesar-besarnya selama 4 tahun”.
Pasal ini merupakan saksi pidana aborsi yang ditujukan terhadap si ibu yang mengandung sendiri (Lestari, 2009).
Pasal 347 KUHP
1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal ini merupakan kejahatan pengguguran kandungan yang dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang mengandung. Dalam hal ini perempuan tersebut tidak dapat dipidana (Lestari, 2009).
Pasal 348 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Dapat disimpulkan pasal tersebut menjelaskan tentang kejahatan pengguguran kandungan yang dilakukan atas persetujuan perempuan yang mengandung. Jadi dengan adanya persetujuan bersama dalam melakukan kejahatan aborsi maka kedua pelakunya dapat dikenai sanksi pidana (Lestari, 2009).
Jika aborsi dilakukan dengan bantuan tenaga medis maka ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 349 KUHP. Lebih jelasnya adalah sebagai berikut. Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan (Lestari, 2009).


Pasal 535 KUHP
Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar