Rabu, 18 November 2015

POLA PERENCANAAN KB DAN PENGGUNAAN KONTRASEPSI RASIONAL




TUGAS TERSTRUKTUR KESEHATAN MATERNAL

POLA PERENCANAAN KB DAN PENGGUNAAN KONTRASEPSI RASIONAL
 
 
BAB I PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dewasa ini kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir, pada tahun 1994. Kesehatan Reproduksi adalah Keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi (Konferensi International Kependudukan dan Pembangunan, 1994). Hal penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi.
Dengan demikian pengendalian kependudukan  telah bergeser ke arah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.
Paradigma baru ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran perempuan sebagai subyek dalam ber-KB. Perubahan pendekatan juga terjadi dalam penanganan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan reproduksi usia lanjut, yang dibahas dalam konteks kesehatan dan hak reproduksi. Dengan paradigma baru ini diharapkan kestabilan pertumbuhan penduduk akan dapat dicapai dengan lebih baik.
Keluarga Berencana (KB) memungkinkan individu dan pasangan-pasangan untuk mengantisipasi dan memperoleh jumlah anak yang mereka inginkan dan mengatur waktu kelahiran anak. Ini dapat dicapai dengan penggunaaan metode kontrasepsi dan pengobatan infertilitas secara sukarela. Kemampuan perempuan untuk menentukan jarak dan membatasi kehamilannya akan memberikan dampak langsung terhadap kesehatan dan kesejahteraannya sekaligus terhadap hasil akhir dari setiap kehamilan. Pemakaian metode KB berpotensi untuk menghindari 32% dari semua kematian ibu dan hampir 10% kematian anak, sekaligus menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan.
Selain itu, penggunaan metode KB berperan terhadap pemberdayaan perempuan, pendidikan dan stabilitas ekonomi. Terkait dengan risiko kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan, infeksi menular seksual (IMS) termasuk human immunodeficiency virus (HIV), dan aborsi tak aman, seks tanpa pelindung dan seks tidak aman merupakan faktor risiko kedua untuk kecacatan dan kematian di masyarakat-masyarakat termiskin di dunia. Metode KB merupakan cara yang aman, efektif dan murah untuk disediakan.
Temuan dari satu penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa 52% dari kehamilan yang tidak diinginkan ini disebabkan kebutuhan yang belum terpenuhi untuk keluarga berencana, sedangkan 43% dari kehamilan yang tidak diinginkan adalah karena tidak konsisten dan penggunaan yang salah dan 5% adalah karena faktor kegagalan metode. Demikian temuan dari sebuah penelitian yang dilakukan di Mesir menunjukkan bahwa 33,6% dari mistimed dan 8,8% dari yang tidak diinginkan kehamilan dikaitkan dengan kebutuhan yang belum terpenuhi untuk jarak kelahiran, sedangkan 14,9% dari 39,7% tidak tepat waktu dan kehamilan yang tidak diinginkan dikaitkan dengan unmet need untuk membatasi kelahiran (Ali et. al., 2014).

B.  Rumusan Masalah
Bagaimanakah pola perencanaan KB dan penggunaan kontrasepsi rasional?
  

BAB II DESKRIPSI KASUS
Berhati-Hati Memilih Alat Kontrasepsi
Pertambahan penduduk semakin meningkat tajam bagaikan cabang pohon yang akan terus bertambah pada tiap cabangnya dari waktu ke waktu. Berbagai upaya pencegahan untuk menekan laju penduduk yang meningkat salah satunya dengan cara pengaturan kehamilan dan pembatasan kehamilan hanya sampai 2 anak. Berkaca dari pengalaman sendiri, penggunaan alat kontrasepsi tidak semudah yang kita bayangkan. Karena masing-masing wanita memiliki karakteristik fisik yang mungkin akan mempengaruhi dampak dari penggunaan alat kontrasepsi tersebut. Perlu kehati-hatian dalam memilih dan disesuaikan dengan kondisi fisik masing-masing.
Pengalaman yang pernah Ibu X alami, berhubungan dengan kontrasepsi adalah ketika suami berkeinginan untuk membatasi anak hanya sampai dua anak saja. Walaupun sebenarnya keinginan itu bertolak belakang dengan keinginan Ibu X yang notabene dari keluarga besar. Namun karena sudah kehendak suami, akhirnya kami menggunakan alat kontrasepsi yaitu kondom. Sangat tidak nyaman memang baik dari pihak suami maupun Ibu X sendiri. Tapi pilihan yang tidak mengenakkan ini terpaksa kita ambil karena Ibu X takut menggunakan alternatif alat kontrasepsi lain karena sering mendengar rumor yang tidak mengenakkan tentang alat KB seperti kegagalan IUD, suntik, pil maupun susuk. Namun ternyata hal itu tidak menjadi jaminan kehamilan bisa dicegah, entah dimana letak kesalahannya karena kenyataan suami selalu disiplin menggunakan. Akhirnya lahir anak ke 3 dan alhamdulillah perempuan. Lengkap sudah dikaruniai anak 2 laki-laki dan 1 perempuan, suami akhirnya meminta Ibu X untuk KB spiral atau IUD karena trauma penggunaan kondom yang ternyata masih bisa gagal. Jujur ada ketakutan benernya dalam diri Ibu X karena ada yang mengatakan itu sangat beresiko salah satunya IUD bisa masuk ke dalam tubuh tanpa disadari, selain beresiko mengakibatkan infeksi. Sekali lagi karena keinginan suami, Ibu X mengikuti sarannya untuk menggunakan IUD dengan jangka waktu 5 tahun pemakaian.
Beberapa tahun penggunaan IUD tidak menjadi masalah bagi Ibu X, satu-satunya perubahan yang terjadi adalah ketika menstruasi menjadi lebih deras dari biasanya dan siklus bisa full tujuh hari. Memang agak mengganggu aktivitas sehari-hari, namun walaupun tidak nyaman ini harus Ibu X jalani. Walaupun jangka waktu IUD sampai 5 tahun namun baru 4 tahun Ibu X lepas dan rencana ganti IUD yang baru. Tapi Ibu X berubah pikiran ketika sempat membaca buku dari ustadz Ibu X tentang larangan perempuan melihat farji perempuan lain kecuali dalam kondisi darurat atau sakit. Sedangkan ketika pemasangan IUD, biasanya dilakukan terhadap wanita yang kondisinya dalam keadaan sehat. Akhirnya Ibu X mengganti alat kontrasepsi dengan KB suntik yang sebulan sekali. Walaupun Ibu X sebenarnya agak khawatir, karena biasanya wanita yang menggunakan KB suntik cenderung mengalami kegemukan, mengingat fisik Ibu X yang lumayan subur. Karena itu Ibu X memilih menggunakan suntik yang sebulan sekali dengan harapan masih bisa tetap menstruasi.
Tapi ternyata penggunaan alat kontrasepsi suntik menjadi awal “masalah reproduksi” Ibu X. Setelah beberapa bulan pemakaian, menstruasi Ibu X menjadi kacau. Dalam satu bulan menstruasi bisa sampai 14 hari dan terjadi seperti pendarahan terus menerus. Yang terakhir malah pendarahan tidak berhenti sama sekali selama sebulan pendarahan, yang akhirnya Ibu X terpaksa harus dikuret untuk menghentikan pendarahan setelah gagal dengan pengobatan hormonal. Setelah kuret dan diambil sampelnya ternyata Ibu X didiagnosa mengidap endimetrium yaitu semacam penyakit yang diakibatkan tidak meratanya pada dinding rahim. Dan saran dokter adalah Ibu X dianjurkan untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi yang bersifat hormonal seperti suntik dan pil dikarenakan hormon kesuburan atau esterogen Ibu X terlalu tinggi. Ibu X tidak tahu apakah endimetrium yang Ibu X alami ada korelasi antara tingginya hormon esterogen Ibu X dengan KB suntik yang Ibu X lakukan. Dan peringatan dari dokter adalah bahwa akan terjadi pendarahan secara periodik entah berapa tahun sekali tergantung tingkat kondisinya.
Ketika siklus menstruasi pasca kuret dimulai lagi, ternyata Ibu X masih mengalami pendarahan, sehingga Ibu X harus kembali periksa ke dokter kandungan. Dan dokter mengatakan kalau ternyata masih pendarahan terpaksa dilakukan kuret lagi. Bergidik mendengarnya, masak tiap bulan kuret, namun dokter mengatakan bahwa maksimal kuret dalam jangka pendek adalah 2 kali. Seandainya masih terjadi pendarahan lagi, terpaksa pangkal masalah dari pendarahan itu harus dihilangkan alias pengangkatan rahim. Mau nangis rasanya, walaupun Ibu X sudah memiliki keturunan, tapi wanita tanpa rahim rasanya kurang lengkap. Tapi anehnya suami seperti tanpa beban, dia mengatakan tidak masalah Ibu X tidak punya rahim kan sudah punya keturunan. Namun Alhamdulillah setelah diberi obat untuk menstabilkan hormon, pendarahan bisa berhenti jadi bayangan kehilangan rahim yang Ibu X takutkan menjadi sirna
Kurang dari setahun menggunakan IUD ternyata tidak menjamin kehamilan Ibu X dapat dicegah. Ibu X hamil lagi anak yang ke 4, dan dalam pemeriksaan ternyata sudah berumur 1 bulan. Padahal ketika memeriksakan ke dokter kandungan semata-mata dikarenakan ada masalah dengan siklus menstruasi Ibu X yang sangat pendek yaitu seminggu sekali. Tapi anehnya malah didiagnosa hamil, artinya Ibu X menstruasi dalam keadaan hamil. Namun kehamilan Ibu X tidak berjalan mulus, Ibu X tetap mengalami pendarahan dan oleh dokter diminta menunggu 1 minggu. Belum ada 1 minggu pendarahan Ibu X semakin deras, Ibu X sendiri juga merasa kepayahan dan terlihat pucat. Suami yang tidak tega dengan kondisi Ibu X memaksa periksa walaupun belum ada 1 minggu, dan dalam pemeriksaan kantong kehamilan ternyata telah rusak. Dokter kandungan meminta Ibu X untuk melakukan kuret lagi yang artinya kandungan harus digugurkan. Karena saat itu hari minggu, Ibu X minta penundaan sehari, tapi dokter menolak. Dokter mengatakan itu tidak bisa ditunda lagi karena kondisinya sudah sangat membahayakan. Kebayang saja, kalau Ibu X menuruti saran dokter untuk menunggu 1 minggu, padahal baru 2 hari ternyata itu sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi. Sekali lagi akibat dari pendarahan pada saat Ibu X hamil apakah ada korelasi dari penyakit endimetrium, sampai saat ini belum ada kejelasan dari pihak dokter.
Sumber : Jakarta.go.id


BAB III LITERATUR REVIEW
A.    Pengertian Kontrasepsi/Keluarga Berencana
Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma (Husada, 2008).
Menurut Ritonga (2003) Keluarga Berencana (KB) adalah suatu upaya manusia untuk mengatur secara sengaja kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan hukum dan moral Pancasila untuk kesejahteraan keluarga.
B.     Tujuan Kontrasepsi
Menurut Hartanto (2003) pelayanan kontrasepsi diupayakan untuk menurunkan angka kelahiran yang bermakna. Guna mencapai tujuan tersebut maka ditempuh kebijaksanaan mengkategorikan tiga fase untuk mencapai sasaran, yaitu:
1.      Fase menunda kehamilan bagi PUS dengan usia istri kurang dari 20 tahun dengan menggunakan kontrasepsi pil oral, kondom, IUD mini.
2.      Fase menjarangkan kehamilan bagi PUS dengan usia istri antara 20–30 / 35 tahun merupakan periode usia paling baik untuk melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran adalah 2–4 tahun, dengan menggunakan kontrasepsi IUD sebagai pilihan utama.
3.      Fase menghentikan / mengakhiri kehamilan / kesuburan periode umur di atas 20–35 tahun, sebaiknya mengakhiri kesuburan setelah mempunyai 2 orang anak pilihan utama adalah kontrasepsi mantap.
Tujuan Kontrasepsi :
a.    Untuk menunda kehamilan atau kesuburan
b.    Untuk menjarang kehamilan
c.    Untuk mencegah kehamilan atau kesuburan
C.    Metode Kontrasepsi
1.    Metode Perintang (barirer)
a.       Kondom
Merupakan selubung atau sarung karet yang dapat dibuat dari berbagai bahan diantaranya lateks (karet), plastik (vinil), atau bahan alami (produksi hewan) yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Kondom tidak hanya mencegah kehamilan tetapi juga melindungi diri dari penularan penyakit melalui hubungan seks, termasuk HIV/AIDS (Uliyah,2010; Saifuddin,2003).
b.      Diafragma
Diafragma adalah kap berbentuk bulat cembung, terbuat dari lateks (karet) yang di insersikan ke dalam vagina sebelum berhubungan seksual dan menutup serviks. Dengan cara seperti ini, sperma tidak bisa meneruskan perjalanan menuju rahim meskipun sperma sudah masuk vagina (Uliyah, 2010; Saifuddin, 2003).
c.       Spermisida
Spermisida adalah bahan kimia (surfaktan nonionik) yang digunakan untuk menonaktifkan atau membunuh sperma. Formulasi spermisida terdiri dari supositoria, krim, jeli, spons, busa dan film
(Uliyah, 2010; Saifuddin, 2003)
2.      Metode Hormonal
a.       Kontrasepsi oral atau pil
Pil kontrasepsi berisi kombinasi hormon sintetis progesteron dan estrogen biasa disebut pil kombinasi, atau hanya berisi hormon sintetis progesteron saja yang sering disebut dengan minipil. Pil yang diminum setiap hari ini berguna untuk mempengaruhi keseimbangan hormon sehingga dapat menekan ovulasi, mencegah implantasi, dan mengentalkan lendir serviks (Uliyah, 2010; Handayani, 2010)
b.      Kontrasepsi Suntik dan Injeksi
Kontrasepsi suntik adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya kehamilan dengan melalui suntikan hormonal. Terdapat dua macam yaitu suntikan kombinasi yang mengandung hormon sintetis estrogen dan progesteron, kemudian suntikan progestin yang berisi hormon progesteron. Mekanisme kerjanya menekan ovulasi, mengentalkan mukus serviks dan mengganggu pertumbuhan endometrium sehingga menyulitkan implantasi (Uliyah, 2010;Handayani, 2010).
c.       Implant
Implant adalah alat kontrasepsi yang berupa susuk yang terbuat dari sejenis karet silastik yang berisi hormon, dipasang pada lengan atas. Implant berupa tabung-tabung yang lunak dan berisi hormon progestin dan setelah diinsersikan implan akan melepaskan hormon tiap harinya. Implan bekerja mencegah ovulasi (Uliyah, 2010;Handayani, 2010).
d.      IUD Hormonal
IUD (Intra Uterine Device) hormonal atau IUD yang mengandung hormon adalah suatu benda kecil yang terbuat dari plastic yang lentur, mempunyai lilitan tembaga atau juga mengandung hormon dan dimasukkan ke dalam rahim melalui vagina (Handayani, 2010; Hartanto, 2010).
1)   Metode IUD
Intra Uterine Device (IUD) atau juga disebut Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (IUD) adalah suatu alat kontrasepsi yang dimasukkan ke dalam rahim yang sangat efektif, reversibel dan berjangka panjang. IUD berguna untuk mencegah terjadinya penempelan sel telur pada dinding rahim atau menangkal pembuahan sel telur oleh sperma (Handayani,2010; Uliyah,2010).
2)   Metode Operasi dan Sterilisasi
Metode ini bekerja dengan cara melakukan pemutusan atau pengikatan saluran sel sperma pada laki–laki (vasektomi) dan pemutusan atau pengikatan saluran telur pada perempuan (tubektomi) (Uliyah,2010;Handayani, 2010).
 3)   Metode Alami atau Sederhana
a)      Metode Kalender
Metode kalender adalah metode yang digunakan berdasarkan masa subur dimana harus menghindari hubungan seksual tanpa perlindungan kontrasepsi pada hari ke 8–19 siklus menstruasinya. Dasar berasal dari ovulasi umumnya terjadi pada hari ke-15 sebelum haid berikutnya, tetapi dapat pula terjadi 12–16 hari sebelum haid yang akan datang (Handayani,2010; Hartanto, 2010)
b)      Metode amenorea laktasi(MAL) 
Menyusui eksklusif merupakan suatu metode kontrasepsi sementara yang cukup efektif, selama klien belum mendapat haid dan waktunya kurang dari enam bulan pasca persalinan. Efektifitasnya dapat mencapai 98%. MAL efektif bila menyusui lebih dari delapan kali sehari dan bayi mendapat cukup asupan perlaktasi (Saifuddin, 2006; Proverawati, 2010).
c)      Metode suhu tubuh
Saat ovulasi terjadi peningkatan suhu basal tubuh sekitar 0,2°C–0,5°C yang disebabkan oleh peningkatan kadar hormon progesteron, peningkatan suhu basal tubuh mulai 1–2 hari setelah ovulasi. Selama 3 hari berikutnya (memperhitungkan waktu ekstra dalam masa hidup sel telur) diperlukan pantang berhubungan intim. Metode suhu mengidentifikasi akhir masa subur bukan awalnya (Handayani, 2010; Hartanto, 2010).
d)     Senggama terputus atau koitus interuptus
Senggama terputus adalah metode keluarga berencana tradisional, dimana pria mengeluarkan alat kelaminnya (penis) dari vagina sebelum pria mencapai ejakulasi. Efektifitas bergantung pada kesediaan pasangan untuk melakukan sengama terputus setiap pelaksanaanya (Saifuddin,2006 ; Hartanto, 2010).
 4)   Metode Darurat
Metode-metode darurat adalah cara menghindari kehamilan setelah terlanjur melakukan hubungan seksual tanpa pelindung. Metode ini mengusahakan agar sel telur yang telah dibuahi tidak sampai menempel di dinding rahim dan berkembang menjadi janin. Metode darurat dapat menggunakan pil hormon atau IUD (Uliyah 2010). 

 


BAB IV PEMBAHASAN

Penggunaan metode kontrasepsi oleh akseptor harus memperhatikan pola- pola penggunaan metode kontrasepsi yang rasional. Hal ini dimaksudkan agar akseptor mendapatkan metode terbaik atau yang paling sesuai bagi dirinya. Pola penggunaan kontrasepsi yang rasional juga dapat meminimalkan resiko komplikasi, efek samping maupun kegagalan kontrasepsi yang mungkin terjadi pada akseptor KB. Hal tersebut seharusnya diterapkan dalam kasus Ibu X agar beliau dapat meminimalkan resiko komplikasi, efek samping maupun kegagalan kontrasepsi yang mungkin terjadi.
Pada kasus Ibu X, beliau berkontrasepsi karena keinginan suami walaupun sebenarnya keinginan itu bertolak belakang dengan keinginannya yg notabene dari keluarga besar. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa setiap klien KB memiliki hak atas kerahasiaan dan privasi serta untuk secara sukarela memilih suatu metode KB. Metode kontrasepsi umumnya digunakan oleh perempuan tetapi laki-laki seringkali merupakan pengambil keputusan dalam keluarga. Oleh karena itu, para laki-laki tersebut harus menerima informasi yang tepat dan didorong untuk mengambil peran aktif dalam proses pengambilan keputusan KB. Keterlibatan aktif ini akan memastikan bahwa tanggung jawab bersama melekat pada pengambilan keputusan ber-KB. Pengecualian tentunya akan diterapkan jika keterlibatan laki-laki malah akan membahayakan keamanan pasangan perempuannya. Pada kasus Ibu X diatas menunjukkan peran serta keterlibatan aktif suami dalam memberikan dorongan dan dukungan kepada istri untuk menggunakan kontrasepsi. Alasan penggunaan alat kontrasepsi pada pasangan suami istri dalam kasus ini adalah untuk menunda kehamilan, mengatur jarak anak, serta adanya faktor ekonomi, kesiapan mental, usia hingga kesehatan sehingga diperlukan adanya konseling.
Menurut Bari, 2006 dalam silviana (2010) Konseling merupakan aspek yang sangat penting dalam pelayanan KB dan kesehahatan reproduksi. Dengan demikian konseling berarti petugas yang membantu klien dalam memilih dan memutuskan jenis kontrasepsi yang akan digunakan sesuai dengan pilihannya, di samping itu dapat membuat klien merasa lebih puas. Konseling KB dapat membantu responden keluar dari berbagai pilihan dan alternatif masalah kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana (KB). Konseling yang baik membuat responden puas (satisfied), juga membantunya dalam menggunakan metoda KB secara konsisten dan sukses.
Kasus diatas menunjukkan bahwa pilihan pertama Ibu X dalam menggunakan kontrasepsi adalah kondom alasannya karena beliau takut menggunakan kontrasepsi lain. Alasan lain yang mendukung ibu X dalam penggunakan kondom menurut Lubis yaitu: dapat mencegah kehamilan dan penularan penyakit sexual, harganya tidak mahal, mudah di dapat, kemasanya ringan, hanya untuk satu kali pakai, tidak membutuhkan resep dokter untuk memakai dan membelinya (Lubis, 2008).
Namun, ternyata kondom memiliki kekurangan yang disadari oleh Ibu X yaitu tidak nyaman dipakai saat berhubungan fisik, dan kekurangan yang tidak diprediksi yaitu ternyata kondom tidak menjadi jaminan bahwa kehamilan bisa dicegah, kenyataannya ibu X memiliki  anak lagi meskipun sang suami rajin memakai kondom saat berhubungan fisik. Kegagalan kondom tersebut lebih disebabkan karena pemilihan kondom yang harganya murah dan ekonomis sehingga kualitas kondom yang digunakan pun rendah, penyimpanan kondom yang kurang baik, pemakaian kondom yang sudah kadaluarsa, pemakaian kondom dalam keadaan mabuk hingga tidak tepat pemakaiannya, kondom tersebut robek ketika dibuka dari bungkusan dan lain sebagainya.
            Pilihan Kedua Ibu X yaitu IUD, juga karena keinginan suami, dan beliau jujur ada ketakutan karena ada yang mengatakan IUD dapat masuk kedalam tubuh dan beresiko mengakibatkan infeksi. Efek samping pemakaian IUD adalah sebagai berikut :
1.        Perdarahan.
Umumnya setelah pemasangan IUD, terjadi pendarahan sedikit-sedikt yang cepat berhenti, kalau pemasangan dilakukan sewaktu haid, perdarahan yang sedikit-sedikit itu tidak akan diketahui oleh akseptor. Keluhan yang sering terdapat pada pemakai IUD ialah menoragia dan spotting menoragia. Jika terjadi pendarahan banyak yang tidak dapat diatasi, sebaiknya IUD dikeluarkan dan diganti dengan IUD yang mempunyai ukuran kecil. Jika perdarahan sedikit-sedikit, dapat diusahakan mengatasinya dengan pengobatan konservatif. Pada perdarahan yang tidak berhenti dengan tindakan-tindakan di atas, sebaiknya IUD diangkat dan digantikan dengan kontrasepsi lain.
2.        Rasa nyeri dan kejang di perut.
Rasa nyeri dan kejang di perut dapat terjadi segera setelah pemasangan IUD, biasanya rasa nyeri tidak berangsur-angsur hilang dengan sendirinya. Rasa nyeri dapat dikurangi atau dihilangkan dengan jalan memberi analgetik. Jika keluhan berlangsung terus-menerus, sebaiknya IUD di keluarkan dan diganti dengan IUD yang mempunyai ukuran yang lebih kecil.
3.      Gangguan pada suami.
Kadang-kadang suami dapat merasakan akan adanya benang IUD sewaktu bersenggama. Ini disebabkan oleh benang IUD yang keluar dari portio uteri terlalu pendek atau terlalu panjang. Untuk mengurangi atau menghilangkan keluhan ini, benang IUD yang terlalu panjang dipotong kira-kira 2-3 cm dari portio, sedangkan jika benang IUD terlalu pendek sebaiknya IUDnya diganti. Biasanya dengan cara ini keluhan suami akan hilang.
4.        Ekspulsi (keluar sendiri).
Sering dijumpai setelah 3 bulan pertama setelah insersi setelah satu tahun angka ekspulsi akan berkurang. Biasanya terjadi sewaktu sedang haid. Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya ekspulsi pada  IUD. (jenis  :  ekspulsi lebih jarang terjadi pada IUD tertutup dan ukuran  : makin besar ukurannya makin kecil kemungkinan terjadinya ekspulsi) (Mochtar, 1998).
Dalam kasus ini, Ibu X kurang memiliki kesadaran untuk berkonsultasi dengan petugas kesehatan. Apabila Ibu X melakukan konseling yang baik dengan petugas kesehatan, maka Ibu X tidak akan merasa takut dalam penggunaan IUD. Kurangnya kesadaran Ibu untuk memeriksakan kondisinya juga dikarenakan kurang adanya dukungan dan dorongan moril keluarga untuk mengontrol Ibu X agar konsultasi dan melakukan pemeriksaan terhadap penggunaan kontrasepsi yang sesuai dengan kehendaknya.
Beberapa tahun kemudian, penggunaan IUD mengakibatkan perubahan pada Ibu X yaitu saat menstruasi menjadi deras dari biasanya dan siklus menjadi full 7 hari. Memang agak mengganggu aktivitas sehari-hari, namun walaupun tidak nyaman ini harus Ibu X jalani. Hubungan terbalik antara penggunaan IUD dan kanker endometrium, secara umum, sesuai dengan literatur. Pengurangan risiko kanker endometrium tampaknya tidak tergantung pada durasi penggunaan, usia saat pertama dan penggunaan terakhir, atau sejak penggunaan terakhir, yang juga konsisten penggunaan kontrasepsi. Penggunaan IUD dapat menginduksi dalam tindakan peradangan yang menghilangkan sel-sel epitel endometrium abnormal dan prakanker; menurunkan hiperplasia endometrium, faktor risiko yang diketahui untuk kanker endometrium; dan mengurangi konsentrasi reseptor estrogen. Hormonal IUD, yang berisi progesteron atau levonorgestrel, kini telah diperkenalkan di banyak negara. Studi yang dibutuhkan untuk mengevaluasi dampaknya pada kanker endometrium. Penggunaan kontrasepsi suntik, dengan hidroksiprogesteron sebagai formulasi yang paling umum, tidak sangat umum dalam populasi penelitian dan sering digunakan hanya untuk periode jangka pendek. Dalam penelitiannya tidak menemukan hubungan antara penggunaan injeksi dengan kanker endometriosis (Tao et, al., 2006).
Walaupun jangka waktu IUD sampai 5 tahun namun baru 4 tahun Ibu X lepas dan berencana untuk mengganti IUD yang baru. Alasan Ibu X berubah pikiran, tidak jadi mengganti IUD yang baru dan melepas IUD karena ketika sempat membaca buku dari ustadz tentang larangan perempuan melihat farji perempuan lain kecuali dalam kondisi darurat atau sakit. Sedangkan ketika pemasangan IUD, biasanya dilakukan terhadap wanita yang kondisinya dalam keadaan sehat. Dalam hal tersebut Ibu X salah dalam memahami persepsi akan hal yang berkaitan dengan agama. Seharusnya Ibu X mengkonsultasikan kebenarannya dan kebaikannya kepada tokoh agama sehingga mendapat kejelasan dan tidak salah mempersepsikan suatu kalimat dalam buku. Padahal dalam pandangan Islam sebagaimana difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional MUI tahun 1983, KB dinilai sebagai suatu ikhtiar atau usaha manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan hukum agama, Undang-Undang (UU) Negara dan moral Pancasila. Untuk itu, dikatakan Ketua Umum MUI, KH. MA Sahal Mahfudz, Agama Islam membenarkan pelaksanaan KB untuk menjaga kesehatan ibu dan anak. Mengenai penjarangan kehamilan demi alasan kesehatan ini, dikatakan telah dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Dalam masa itu, sebagaimana dikatakan dalam dua buah hadis yang diriwayatkan masing-masing oleh Bukhori dan Muslim, seorang sahabat Rasul mengaku telah melakukan azal, yakni mengeluarkan air mani di luar vagina istri atau yang lazim disebut saat ini sebagai senggama terputus, namun tidak dilarang oleh Rasul.
Namun, akhirnya Ibu X mengganti alat kontrasepsi dengan KB suntik yang sebulan sekali. Walaupun Ibu X sebenarnya agak khawatir, karena biasanya wanita yang menggunakan KB suntik cenderung mengalami kegemukan, mengingat fisik Ibu X yang lumayan subur. Karena itu Ibu X memilih menggunakan suntik yang sebulan sekali dengan harapan masih bisa tetap menstruasi. KB suntik ini memiliki keuntungan yaitu: sangat efektif, pencegahan kehamilan jangka panjang, tidak berpengaruh pada hubungan suami istri, tidak memiliki pengaruh terhadap ASI, mencegah kanker endometrium dan kehamilan ektopik (Saifuddin, 2006).
Pada kasus ibu X ini, ternyata menggunakan KB suntik jadi masalah reproduksi yaitu pada 1 bulan menstruasi bisa sampai 14 hari dan terjadi pendarahan terus menerus dan terakhir pendarahan selama 1 bulan. Akhirnya di Kuret. Setelah di Kuret, ternyata si Ibu X didiagnosa mengidap Endometrium. Kerugian KB suntik diantaranya pendarahan tidak teratur atau bercak atau amenore, keterlambatan kembali subur sampai 1 tahun, berat badan meningkat, dan dapat berkaitan dengan osteoporosis pada pemakaian jangka panjang. Kegagalan KB suntik ini diakibatkan karena wanita terkadang lupa dengan jadwalnya untuk melakukan suntik KB pada setiap periodenya, dan juga dikarenakan kesalahan kerja dari alat suntik KB (Everett, 2007).
Dari pengalaman pribadi Ibu X ini, akseptor KB perlu berhati-hati dalam penggunaan kontrasepsi. Pertimbangan masak-masak karena ada banyak kasus kegagalan dalam penggunaan kontrasepsi antara lain gagal KB alias hamil, pendarahan, perubahan pola haid ataupun iritasi yang biasa terjadi pada penggunakan kondom. Selain itu perlu konsultasi lebih lanjut apabila memutuskan KB hormonal seperti suntik maupun pil, dengan memeriksakan tingkat hormon estrogen dalam tubuhnya. Hal itu perlu dilakukan karena ada banyak kasus wanita yang menggunakan KB suntik mengalami obesitas atau bahkan berhenti menstruasi sama sekali. Meminimalkan resiko dari penggunaan alat KB adalah perlu semata-mata untuk menjaga kesehatan diri bagi para Ibu.
Tampaknya banyak faktor yang memainkan peran dalam memprediksi kehamilan yang tidak diinginkan dan beberapa hasil yang tidak menguntungkan terjadi karena itu. Dengan demikian, upaya masyarakat ditingkatkan diperlukan untuk mendidik perempuan tentang keluarga berencana serta tentang penggunaan yang tepat dari metode keluarga berencana. Peningkatan konseling dan tepat tindak lanjut yang diperlukan terutama dari para wanita yang mengadopsi metode apapun. Sejak pengobatan yang tidak tepat, tidak lengkap menindaklanjuti dan pilihan terbatas metode dapat mengakibatkan perempuan untuk menghentikan metode, oleh karena itu peran kualitas pelayanan jasa yang ada dalam meningkatkan kemampuan perempuan untuk mencapai tujuan reproduksi mereka inginkan harus diberikan perhatian. Selain meningkatkan kualitas pelayanan keluarga berencana yang ada, harus fokus pada tindak lanjut perempuan untuk menilai kepatuhan terhadap metode dan mengatasi masalah mereka terkait dengan metode apapun. Hal ini penting untuk fokus pada bagaimana program intervensi harus dirancang, disampaikan dan diperiksa. Strategi intervensi harus bertujuan untuk mengurangi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dengan berfokus pada faktor-faktor yang diidentifikasi sehingga bayi dan kematian ibu serta morbiditas dapat diturunkan dan keseluruhan kesejahteraan keluarga dipertahankan dan ditingkatkan (Ali et. al., 2014).
 
BAB V SIMPULAN

Pola Perencanaan KB seperti metode perintang/barrier (kondom, diafragma, spermisida), metode hormonal (kontrasepsi oral atau pil, kontrasepsi suntik dan injeksi, implant, IUD hormonal), metode alami / sederhana (metode kalender, metode amenorea laktasi (MAL), metode suhu tubuh, senggama terputus atau koitus interuptus, metode darurat. Pada kasus diatas pola perencanaan KB yang digunakan adalah kondom, IUD dan KB suntik.
Penggunaan metode kontrasepsi oleh akseptor KB harus memperhatikan pola - pola penggunaan metode kontrasepsi yang rasional. Pola penggunaan kontrasepsi yang rasional juga dapat meminimalkan resiko komplikasi, efek samping maupun kegagalan kontrasepsi yang mungkin terjadi pada akseptor KB.

DAFTAR PUSTAKA
 Ali SA, Ali SA. 2014. Unmet need for contraception and unintended pregnancies among women of reproductive age group: A situation analysis. El Mednifico Jour nal 2014, 2(3): 259-265 http://www.mednifico.com/index.php/elmedj/article/view/242.
 Dewi malvana. 2013. Berhati-hati memilih alat kontrasepsi. http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2013/05/08/berhati-hati-memilih-alat-kontrasepsi-558488.html. Kompasiana.com. diakses pada 15 November 2014
 Everett, Suzanne. 2007. Buku Saku Kontrasepsi dan Kesehatan Seksual reproduktif, Ed.2. Penerjemah Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC: 198.
 Handayani, Sri. 2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
 Hartanto. 2003. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta :  Pustaka Sinar Harapan.
 Hartanto, dkk, editor. 2010. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
 Husada, Bakti. 2008. Buku Asuhan Persalinan Normal. JNPK-KR: Jakarta
 Lubis, Ramona D. 2008. Penggunaan Kondom. USU e-Repository
 Saifuddin, et al. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
 Saifuddin. (2006). Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
 Silviana Kartika Sari, Evi Sri Suryani dan Rohmi Handayani. 2010. Hubungan Konseling Keluarga Berencana (Kb) dengan Pengambilan Keputusan Pasangan Usia Subur (Pus) dalam Penggunaan Alat Kontrasepsi. Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan, Vol. 1 No. 1 Edisi Desember 2010.
 Tao, Meng Hao; Wang Hong Xu; Wei Zheng; Zuo-Feng Zhang; Yu-Tang Gao; Jia Rong Cheng; Jing Gao; Yong Bing Xiang and Xiao Ou Shu. 2006. Oral contraceptive and IUD use and endometrial cancer: A population-based case–control study in Shanghai, China. Int. J. Cancer: 119, 2142–2147 (2006) 2006 Wiley-Liss, Inc.
 Uliyah, M. 2010. Panduan Aman dan Sehat Memilih Alat KB. Yogyakarta: Insania

Tidak ada komentar:

Posting Komentar