TUGAS
TERSTRUKTUR KESEHATAN MATERNAL
POLA PERENCANAAN KB DAN PENGGUNAAN KONTRASEPSI RASIONAL
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini
kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya
isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan
Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di
Kairo, Mesir, pada tahun 1994. Kesehatan
Reproduksi adalah Keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala
hal yang berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi (Konferensi
International Kependudukan dan Pembangunan, 1994). Hal
penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma
dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan
pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus
pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi.
Dengan demikian
pengendalian kependudukan telah bergeser
ke arah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi
bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak
reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan
penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki dalam
kaitannya dengan kesehatan reproduksi.
Paradigma baru
ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran perempuan sebagai
subyek dalam ber-KB. Perubahan pendekatan juga terjadi dalam penanganan
kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan
penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan
reproduksi usia lanjut, yang dibahas dalam konteks kesehatan dan hak
reproduksi. Dengan paradigma baru ini diharapkan kestabilan pertumbuhan
penduduk akan dapat dicapai dengan lebih baik.
Keluarga Berencana (KB) memungkinkan individu dan
pasangan-pasangan untuk mengantisipasi dan memperoleh jumlah anak yang mereka
inginkan dan mengatur waktu kelahiran anak. Ini dapat dicapai dengan
penggunaaan metode kontrasepsi dan pengobatan infertilitas secara sukarela.
Kemampuan perempuan untuk menentukan jarak dan membatasi kehamilannya akan
memberikan dampak langsung terhadap kesehatan dan kesejahteraannya sekaligus terhadap
hasil akhir dari setiap kehamilan. Pemakaian metode KB berpotensi untuk
menghindari 32% dari semua kematian ibu dan hampir 10% kematian anak, sekaligus
menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan.
Selain itu, penggunaan metode KB berperan terhadap pemberdayaan
perempuan, pendidikan dan stabilitas ekonomi. Terkait dengan risiko kesehatan
yang berhubungan dengan kehamilan, infeksi menular seksual (IMS) termasuk human
immunodeficiency virus (HIV), dan aborsi tak aman, seks tanpa pelindung dan
seks tidak aman merupakan faktor risiko kedua untuk kecacatan dan kematian di
masyarakat-masyarakat termiskin di dunia. Metode KB merupakan cara yang aman,
efektif dan murah untuk disediakan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah
pola perencanaan KB dan penggunaan kontrasepsi rasional?
BAB
II DESKRIPSI
KASUS
Berhati-Hati
Memilih Alat Kontrasepsi
Pertambahan penduduk semakin meningkat tajam bagaikan cabang
pohon yang akan terus bertambah pada tiap cabangnya dari waktu ke waktu.
Berbagai upaya pencegahan untuk menekan laju penduduk yang meningkat salah
satunya dengan cara pengaturan kehamilan dan pembatasan kehamilan hanya sampai
2 anak. Berkaca dari pengalaman sendiri, penggunaan alat kontrasepsi tidak
semudah yang kita bayangkan. Karena masing-masing wanita memiliki karakteristik
fisik yang mungkin akan mempengaruhi dampak dari penggunaan alat kontrasepsi
tersebut. Perlu kehati-hatian dalam memilih dan disesuaikan dengan kondisi
fisik masing-masing.
Pengalaman yang pernah Ibu X alami, berhubungan dengan
kontrasepsi adalah ketika suami berkeinginan untuk membatasi anak hanya sampai
dua anak saja. Walaupun sebenarnya keinginan itu bertolak belakang dengan
keinginan Ibu X yang notabene dari keluarga besar. Namun karena sudah kehendak
suami, akhirnya kami menggunakan alat kontrasepsi yaitu kondom. Sangat tidak
nyaman memang baik dari pihak suami maupun Ibu X sendiri. Tapi pilihan yang
tidak mengenakkan ini terpaksa kita ambil karena Ibu X takut menggunakan
alternatif alat kontrasepsi lain karena sering mendengar rumor yang tidak
mengenakkan tentang alat KB seperti kegagalan IUD, suntik, pil maupun susuk.
Namun ternyata hal itu tidak menjadi jaminan kehamilan bisa dicegah, entah
dimana letak kesalahannya karena kenyataan suami selalu disiplin menggunakan.
Akhirnya lahir anak ke 3 dan alhamdulillah perempuan. Lengkap sudah dikaruniai
anak 2 laki-laki dan 1 perempuan, suami akhirnya meminta Ibu X untuk KB spiral
atau IUD karena trauma penggunaan kondom yang ternyata masih bisa gagal. Jujur
ada ketakutan benernya dalam diri Ibu X karena ada yang mengatakan itu sangat
beresiko salah satunya IUD bisa masuk ke dalam tubuh tanpa disadari, selain
beresiko mengakibatkan infeksi. Sekali lagi karena keinginan suami, Ibu X
mengikuti sarannya untuk menggunakan IUD dengan jangka waktu 5 tahun pemakaian.
Beberapa tahun penggunaan IUD tidak menjadi masalah bagi Ibu
X, satu-satunya perubahan yang terjadi adalah ketika menstruasi menjadi lebih
deras dari biasanya dan siklus bisa full tujuh hari. Memang agak mengganggu
aktivitas sehari-hari, namun walaupun tidak nyaman ini harus Ibu X jalani.
Walaupun jangka waktu IUD sampai 5 tahun namun baru 4 tahun Ibu X lepas dan
rencana ganti IUD yang baru. Tapi Ibu X berubah pikiran ketika sempat membaca
buku dari ustadz Ibu X tentang larangan perempuan melihat farji perempuan lain
kecuali dalam kondisi darurat atau sakit. Sedangkan ketika pemasangan IUD,
biasanya dilakukan terhadap wanita yang kondisinya dalam keadaan sehat.
Akhirnya Ibu X mengganti alat kontrasepsi dengan KB suntik yang sebulan sekali.
Walaupun Ibu X sebenarnya agak khawatir, karena biasanya wanita yang
menggunakan KB suntik cenderung mengalami kegemukan, mengingat fisik Ibu X yang
lumayan subur. Karena itu Ibu X memilih menggunakan suntik yang sebulan sekali
dengan harapan masih bisa tetap menstruasi.
Tapi ternyata penggunaan alat kontrasepsi suntik menjadi
awal “masalah reproduksi” Ibu X. Setelah beberapa bulan pemakaian, menstruasi Ibu
X menjadi kacau. Dalam satu bulan menstruasi bisa sampai 14 hari dan terjadi
seperti pendarahan terus menerus. Yang terakhir malah pendarahan tidak berhenti
sama sekali selama sebulan pendarahan, yang akhirnya Ibu X terpaksa harus
dikuret untuk menghentikan pendarahan setelah gagal dengan pengobatan hormonal.
Setelah kuret dan diambil sampelnya ternyata Ibu X didiagnosa mengidap
endimetrium yaitu semacam penyakit yang diakibatkan tidak meratanya pada
dinding rahim. Dan saran dokter adalah Ibu X dianjurkan untuk tidak menggunakan
alat kontrasepsi yang bersifat hormonal seperti suntik dan pil dikarenakan
hormon kesuburan atau esterogen Ibu X terlalu tinggi. Ibu X tidak tahu apakah
endimetrium yang Ibu X alami ada korelasi antara tingginya hormon esterogen Ibu
X dengan KB suntik yang Ibu X lakukan. Dan peringatan dari dokter adalah bahwa
akan terjadi pendarahan secara periodik entah berapa tahun sekali tergantung
tingkat kondisinya.
Ketika siklus menstruasi pasca kuret dimulai lagi, ternyata Ibu
X masih mengalami pendarahan, sehingga Ibu X harus kembali periksa ke dokter
kandungan. Dan dokter mengatakan kalau ternyata masih pendarahan terpaksa
dilakukan kuret lagi. Bergidik mendengarnya, masak tiap bulan kuret, namun
dokter mengatakan bahwa maksimal kuret dalam jangka pendek adalah 2 kali.
Seandainya masih terjadi pendarahan lagi, terpaksa pangkal masalah dari
pendarahan itu harus dihilangkan alias pengangkatan rahim. Mau nangis rasanya,
walaupun Ibu X sudah memiliki keturunan, tapi wanita tanpa rahim rasanya kurang
lengkap. Tapi anehnya suami seperti tanpa beban, dia mengatakan tidak masalah Ibu
X tidak punya rahim kan sudah punya keturunan. Namun Alhamdulillah setelah
diberi obat untuk menstabilkan hormon, pendarahan bisa berhenti jadi bayangan
kehilangan rahim yang Ibu X takutkan menjadi sirna
Kurang dari setahun menggunakan IUD ternyata tidak menjamin
kehamilan Ibu X dapat dicegah. Ibu X hamil lagi anak yang ke 4, dan dalam
pemeriksaan ternyata sudah berumur 1 bulan. Padahal ketika memeriksakan ke
dokter kandungan semata-mata dikarenakan ada masalah dengan siklus menstruasi Ibu
X yang sangat pendek yaitu seminggu sekali. Tapi anehnya malah didiagnosa hamil,
artinya Ibu X menstruasi dalam keadaan hamil. Namun kehamilan Ibu X tidak
berjalan mulus, Ibu X tetap mengalami pendarahan dan oleh dokter diminta
menunggu 1 minggu. Belum ada 1 minggu pendarahan Ibu X semakin deras, Ibu X
sendiri juga merasa kepayahan dan terlihat pucat. Suami yang tidak tega dengan
kondisi Ibu X memaksa periksa walaupun belum ada 1 minggu, dan dalam
pemeriksaan kantong kehamilan ternyata telah rusak. Dokter kandungan meminta Ibu
X untuk melakukan kuret lagi yang artinya kandungan harus digugurkan. Karena
saat itu hari minggu, Ibu X minta penundaan sehari, tapi dokter menolak. Dokter
mengatakan itu tidak bisa ditunda lagi karena kondisinya sudah sangat
membahayakan. Kebayang saja, kalau Ibu X menuruti saran dokter untuk menunggu 1
minggu, padahal baru 2 hari ternyata itu sesuatu yang tidak bisa ditunda lagi.
Sekali lagi akibat dari pendarahan pada saat Ibu X hamil apakah ada korelasi
dari penyakit endimetrium, sampai saat ini belum ada kejelasan dari pihak
dokter.
Sumber
: Jakarta.go.id
A.
Pengertian
Kontrasepsi/Keluarga Berencana
Kontrasepsi
berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang
berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan
kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya
kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma
(Husada, 2008).
Menurut
Ritonga (2003) Keluarga Berencana (KB) adalah suatu upaya manusia untuk
mengatur secara sengaja kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan hukum dan
moral Pancasila untuk kesejahteraan keluarga.
B.
Tujuan
Kontrasepsi
Menurut Hartanto
(2003) pelayanan kontrasepsi diupayakan untuk menurunkan angka kelahiran yang
bermakna. Guna mencapai tujuan tersebut maka ditempuh kebijaksanaan
mengkategorikan tiga fase untuk mencapai sasaran, yaitu:
1. Fase
menunda kehamilan bagi PUS dengan usia istri kurang dari 20 tahun dengan
menggunakan kontrasepsi pil oral, kondom, IUD mini.
2. Fase
menjarangkan kehamilan bagi PUS dengan usia istri antara 20–30 / 35 tahun
merupakan periode usia paling baik untuk melahirkan, dengan jumlah anak 2 orang
dan jarak antara kelahiran adalah 2–4 tahun, dengan menggunakan kontrasepsi IUD
sebagai pilihan utama.
3. Fase
menghentikan / mengakhiri kehamilan / kesuburan periode umur di atas 20–35
tahun, sebaiknya mengakhiri kesuburan setelah mempunyai 2 orang anak pilihan
utama adalah kontrasepsi mantap.
Tujuan
Kontrasepsi :
a. Untuk
menunda kehamilan atau kesuburan
b. Untuk
menjarang kehamilan
c. Untuk
mencegah kehamilan atau kesuburan
C.
Metode
Kontrasepsi
1. Metode
Perintang (barirer)
a. Kondom
Merupakan
selubung atau sarung karet yang dapat dibuat dari berbagai bahan diantaranya
lateks (karet), plastik (vinil), atau bahan alami (produksi hewan) yang
dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Kondom tidak hanya mencegah
kehamilan tetapi juga melindungi diri dari penularan penyakit melalui hubungan
seks, termasuk HIV/AIDS (Uliyah,2010; Saifuddin,2003).
b. Diafragma
Diafragma
adalah kap berbentuk bulat cembung, terbuat dari lateks (karet) yang di
insersikan ke dalam vagina sebelum berhubungan seksual dan menutup serviks.
Dengan cara seperti ini, sperma tidak bisa meneruskan perjalanan menuju rahim
meskipun sperma sudah masuk vagina (Uliyah, 2010; Saifuddin, 2003).
c. Spermisida
Spermisida
adalah bahan kimia (surfaktan nonionik) yang digunakan untuk menonaktifkan atau
membunuh sperma. Formulasi spermisida terdiri dari supositoria, krim, jeli,
spons, busa dan film
(Uliyah, 2010; Saifuddin, 2003)
2. Metode
Hormonal
a. Kontrasepsi
oral atau pil
Pil
kontrasepsi berisi kombinasi hormon sintetis progesteron dan estrogen biasa
disebut pil kombinasi, atau hanya berisi hormon sintetis progesteron saja yang
sering disebut dengan minipil. Pil yang diminum setiap hari ini berguna untuk
mempengaruhi keseimbangan hormon sehingga dapat menekan ovulasi, mencegah
implantasi, dan mengentalkan lendir serviks (Uliyah, 2010; Handayani, 2010)
b. Kontrasepsi
Suntik dan Injeksi
Kontrasepsi
suntik adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya kehamilan dengan
melalui suntikan hormonal. Terdapat dua macam yaitu suntikan kombinasi yang
mengandung hormon sintetis estrogen dan progesteron, kemudian suntikan
progestin yang berisi hormon progesteron. Mekanisme kerjanya menekan ovulasi,
mengentalkan mukus serviks dan mengganggu pertumbuhan endometrium sehingga
menyulitkan implantasi (Uliyah, 2010;Handayani, 2010).
c. Implant
Implant
adalah alat kontrasepsi yang berupa susuk yang terbuat dari sejenis karet
silastik yang berisi hormon, dipasang pada lengan atas. Implant berupa
tabung-tabung yang lunak dan berisi hormon progestin dan setelah diinsersikan
implan akan melepaskan hormon tiap harinya. Implan bekerja mencegah ovulasi
(Uliyah, 2010;Handayani, 2010).
d. IUD
Hormonal
IUD
(Intra Uterine Device) hormonal atau
IUD yang mengandung hormon adalah suatu benda kecil yang terbuat dari plastic
yang lentur, mempunyai lilitan tembaga atau juga mengandung hormon dan
dimasukkan ke dalam rahim melalui vagina (Handayani, 2010; Hartanto, 2010).
1) Metode
IUD
Intra Uterine Device (IUD) atau
juga disebut Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (IUD) adalah suatu alat kontrasepsi
yang dimasukkan ke dalam rahim yang sangat efektif, reversibel dan berjangka
panjang. IUD berguna untuk mencegah terjadinya penempelan sel telur pada
dinding rahim atau menangkal pembuahan sel telur oleh sperma (Handayani,2010;
Uliyah,2010).
2) Metode
Operasi dan Sterilisasi
Metode ini bekerja dengan cara
melakukan pemutusan atau pengikatan saluran sel sperma pada laki–laki
(vasektomi) dan pemutusan atau pengikatan saluran telur pada perempuan
(tubektomi) (Uliyah,2010;Handayani, 2010).
3) Metode
Alami atau Sederhana
a) Metode
Kalender
Metode kalender adalah metode yang
digunakan berdasarkan masa subur dimana harus menghindari hubungan seksual
tanpa perlindungan kontrasepsi pada hari ke 8–19 siklus menstruasinya. Dasar
berasal dari ovulasi umumnya terjadi pada hari ke-15 sebelum haid berikutnya,
tetapi dapat pula terjadi 12–16 hari sebelum haid yang akan datang
(Handayani,2010; Hartanto, 2010)
b) Metode
amenorea laktasi(MAL)
Menyusui eksklusif merupakan suatu
metode kontrasepsi sementara yang cukup efektif, selama klien belum mendapat
haid dan waktunya kurang dari enam bulan pasca persalinan. Efektifitasnya dapat
mencapai 98%. MAL efektif bila menyusui lebih dari delapan kali sehari dan bayi
mendapat cukup asupan perlaktasi (Saifuddin, 2006; Proverawati, 2010).
c) Metode
suhu tubuh
Saat ovulasi terjadi peningkatan
suhu basal tubuh sekitar 0,2°C–0,5°C yang disebabkan oleh peningkatan kadar
hormon progesteron, peningkatan suhu basal tubuh mulai 1–2 hari setelah
ovulasi. Selama 3 hari berikutnya (memperhitungkan waktu ekstra dalam masa
hidup sel telur) diperlukan pantang berhubungan intim. Metode suhu
mengidentifikasi akhir masa subur bukan awalnya (Handayani, 2010; Hartanto,
2010).
d) Senggama
terputus atau koitus interuptus
Senggama terputus adalah metode
keluarga berencana tradisional, dimana pria mengeluarkan alat kelaminnya
(penis) dari vagina sebelum pria mencapai ejakulasi. Efektifitas bergantung
pada kesediaan pasangan untuk melakukan sengama terputus setiap pelaksanaanya
(Saifuddin,2006 ; Hartanto, 2010).
4) Metode
Darurat
Metode-metode darurat adalah cara
menghindari kehamilan setelah terlanjur melakukan hubungan seksual tanpa
pelindung. Metode ini mengusahakan agar sel telur yang telah dibuahi tidak
sampai menempel di dinding rahim dan berkembang menjadi janin. Metode darurat
dapat menggunakan pil hormon atau IUD (Uliyah 2010).
BAB IV PEMBAHASAN
Penggunaan metode
kontrasepsi oleh akseptor harus memperhatikan pola- pola penggunaan metode
kontrasepsi yang rasional. Hal ini dimaksudkan agar akseptor mendapatkan metode
terbaik atau yang paling sesuai bagi dirinya. Pola penggunaan kontrasepsi yang
rasional juga dapat meminimalkan resiko komplikasi, efek samping maupun
kegagalan kontrasepsi yang mungkin terjadi pada akseptor KB. Hal tersebut seharusnya
diterapkan dalam kasus Ibu X agar beliau dapat meminimalkan resiko komplikasi, efek samping maupun kegagalan
kontrasepsi yang mungkin terjadi.
Pada
kasus Ibu X, beliau berkontrasepsi karena keinginan suami walaupun sebenarnya
keinginan itu bertolak belakang dengan keinginannya yg notabene dari keluarga
besar. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa setiap klien KB memiliki hak atas kerahasiaan dan
privasi serta untuk secara sukarela memilih suatu metode KB. Metode kontrasepsi
umumnya digunakan oleh perempuan tetapi laki-laki seringkali merupakan
pengambil keputusan dalam keluarga. Oleh karena itu, para laki-laki tersebut
harus menerima informasi yang tepat dan didorong untuk mengambil peran aktif
dalam proses pengambilan keputusan KB. Keterlibatan aktif ini akan memastikan
bahwa tanggung jawab bersama melekat pada pengambilan keputusan ber-KB.
Pengecualian tentunya akan diterapkan jika keterlibatan laki-laki malah akan membahayakan
keamanan pasangan perempuannya. Pada kasus Ibu X diatas menunjukkan peran serta
keterlibatan aktif suami dalam memberikan dorongan dan dukungan kepada istri
untuk menggunakan kontrasepsi. Alasan penggunaan alat kontrasepsi pada pasangan
suami istri dalam kasus ini adalah untuk menunda kehamilan, mengatur jarak
anak, serta adanya faktor ekonomi, kesiapan mental, usia hingga kesehatan
sehingga diperlukan adanya konseling.
Menurut Bari, 2006 dalam
silviana (2010) Konseling merupakan aspek yang sangat penting dalam pelayanan
KB dan kesehahatan reproduksi. Dengan demikian konseling berarti petugas yang
membantu klien dalam memilih dan memutuskan jenis kontrasepsi yang akan
digunakan sesuai dengan pilihannya, di samping itu dapat membuat klien merasa lebih
puas. Konseling KB dapat membantu responden keluar dari berbagai pilihan dan
alternatif masalah kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana (KB). Konseling
yang baik membuat responden puas (satisfied), juga membantunya dalam
menggunakan metoda KB secara konsisten dan sukses.
Kasus
diatas menunjukkan bahwa pilihan pertama Ibu X dalam menggunakan kontrasepsi
adalah kondom alasannya karena beliau takut menggunakan kontrasepsi lain. Alasan lain yang mendukung ibu X dalam
penggunakan kondom menurut Lubis yaitu: dapat mencegah kehamilan dan penularan
penyakit sexual, harganya tidak mahal, mudah di dapat, kemasanya ringan, hanya
untuk satu kali pakai, tidak membutuhkan resep dokter untuk memakai dan membelinya
(Lubis, 2008).
Namun,
ternyata kondom memiliki kekurangan yang disadari oleh Ibu X yaitu tidak nyaman
dipakai saat berhubungan fisik, dan kekurangan yang tidak diprediksi yaitu ternyata
kondom tidak menjadi jaminan bahwa kehamilan bisa dicegah, kenyataannya ibu X
memiliki anak lagi meskipun sang suami
rajin memakai kondom saat berhubungan fisik. Kegagalan kondom tersebut lebih
disebabkan karena pemilihan kondom yang harganya murah dan ekonomis sehingga
kualitas kondom yang digunakan pun rendah, penyimpanan kondom yang kurang baik,
pemakaian kondom yang sudah kadaluarsa, pemakaian kondom dalam keadaan mabuk hingga
tidak tepat pemakaiannya, kondom tersebut robek ketika dibuka dari bungkusan
dan lain sebagainya.
Pilihan Kedua Ibu X yaitu IUD, juga
karena keinginan suami, dan beliau jujur ada ketakutan karena ada yang
mengatakan IUD dapat masuk kedalam tubuh dan beresiko mengakibatkan infeksi. Efek
samping pemakaian IUD adalah sebagai berikut :
1.
Perdarahan.
Umumnya setelah pemasangan IUD, terjadi pendarahan sedikit-sedikt
yang cepat berhenti, kalau pemasangan dilakukan sewaktu haid, perdarahan yang
sedikit-sedikit itu tidak akan diketahui oleh akseptor. Keluhan yang sering
terdapat pada pemakai IUD ialah menoragia dan spotting menoragia. Jika terjadi
pendarahan banyak yang tidak dapat diatasi, sebaiknya IUD dikeluarkan dan
diganti dengan IUD yang mempunyai ukuran kecil. Jika perdarahan
sedikit-sedikit, dapat diusahakan mengatasinya dengan pengobatan konservatif.
Pada perdarahan yang tidak berhenti dengan tindakan-tindakan di atas, sebaiknya
IUD diangkat dan digantikan dengan kontrasepsi lain.
2.
Rasa nyeri dan kejang di
perut.
Rasa nyeri dan kejang di perut dapat terjadi segera setelah
pemasangan IUD, biasanya rasa nyeri tidak berangsur-angsur hilang dengan
sendirinya. Rasa nyeri dapat dikurangi atau dihilangkan dengan jalan memberi
analgetik. Jika keluhan berlangsung terus-menerus, sebaiknya IUD di keluarkan
dan diganti dengan IUD yang mempunyai ukuran yang lebih kecil.
3.
Gangguan pada suami.
Kadang-kadang suami dapat merasakan akan adanya benang IUD sewaktu
bersenggama. Ini disebabkan oleh benang IUD yang keluar dari portio uteri
terlalu pendek atau terlalu panjang. Untuk mengurangi atau menghilangkan
keluhan ini, benang IUD yang terlalu panjang dipotong kira-kira 2-3 cm dari
portio, sedangkan jika benang IUD terlalu pendek sebaiknya IUDnya diganti.
Biasanya dengan cara ini keluhan suami akan hilang.
4.
Ekspulsi (keluar sendiri).
Sering dijumpai setelah 3 bulan pertama setelah insersi setelah
satu tahun angka ekspulsi akan berkurang. Biasanya terjadi sewaktu sedang haid.
Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya ekspulsi pada IUD. (jenis
: ekspulsi lebih jarang terjadi
pada IUD tertutup dan ukuran : makin
besar ukurannya makin kecil kemungkinan terjadinya ekspulsi) (Mochtar, 1998).
Dalam kasus ini, Ibu X kurang memiliki kesadaran untuk
berkonsultasi dengan petugas kesehatan. Apabila Ibu X melakukan konseling yang
baik dengan petugas kesehatan, maka Ibu X tidak akan merasa takut dalam
penggunaan IUD. Kurangnya kesadaran Ibu untuk memeriksakan kondisinya juga
dikarenakan kurang adanya dukungan dan dorongan moril keluarga untuk mengontrol
Ibu X agar konsultasi dan melakukan pemeriksaan terhadap penggunaan kontrasepsi
yang sesuai dengan kehendaknya.
Beberapa tahun kemudian, penggunaan
IUD mengakibatkan perubahan pada Ibu X yaitu saat menstruasi menjadi deras dari
biasanya dan siklus menjadi full 7 hari. Memang agak mengganggu aktivitas sehari-hari, namun walaupun
tidak nyaman ini harus Ibu X jalani. Hubungan
terbalik antara penggunaan
IUD dan kanker
endometrium, secara umum, sesuai
dengan literatur. Pengurangan
risiko kanker endometrium tampaknya tidak tergantung pada durasi penggunaan, usia saat pertama dan penggunaan terakhir, atau sejak penggunaan
terakhir, yang juga konsisten penggunaan
kontrasepsi. Penggunaan IUD
dapat menginduksi dalam tindakan peradangan yang menghilangkan sel-sel epitel endometrium abnormal
dan prakanker; menurunkan hiperplasia endometrium, faktor risiko yang diketahui untuk kanker endometrium; dan mengurangi konsentrasi reseptor estrogen. Hormonal
IUD, yang berisi progesteron atau levonorgestrel,
kini telah diperkenalkan di banyak negara. Studi yang dibutuhkan untuk
mengevaluasi dampaknya pada kanker
endometrium. Penggunaan kontrasepsi
suntik, dengan hidroksiprogesteron
sebagai formulasi yang paling umum, tidak sangat umum dalam populasi penelitian dan sering digunakan hanya untuk periode jangka pendek. Dalam penelitiannya tidak menemukan hubungan antara penggunaan injeksi dengan kanker endometriosis
(Tao et, al., 2006).
Walaupun jangka waktu IUD sampai 5 tahun namun baru 4 tahun
Ibu X lepas dan berencana untuk mengganti IUD yang baru. Alasan Ibu X berubah pikiran, tidak jadi
mengganti IUD yang baru dan melepas IUD karena ketika sempat membaca buku dari
ustadz tentang larangan perempuan melihat farji perempuan lain kecuali dalam
kondisi darurat atau sakit. Sedangkan ketika pemasangan IUD, biasanya dilakukan
terhadap wanita yang kondisinya dalam keadaan sehat. Dalam hal tersebut Ibu X
salah dalam memahami persepsi akan hal yang berkaitan dengan agama. Seharusnya
Ibu X mengkonsultasikan kebenarannya dan kebaikannya kepada tokoh agama sehingga
mendapat kejelasan dan tidak salah mempersepsikan suatu kalimat dalam buku.
Padahal dalam
pandangan Islam sebagaimana difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
Musyawarah Nasional MUI tahun 1983, KB dinilai sebagai suatu ikhtiar atau usaha
manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan hukum
agama, Undang-Undang (UU) Negara dan moral Pancasila. Untuk itu, dikatakan
Ketua Umum MUI, KH. MA Sahal Mahfudz, Agama Islam membenarkan pelaksanaan KB
untuk menjaga kesehatan ibu dan anak. Mengenai penjarangan kehamilan demi
alasan kesehatan ini, dikatakan telah dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Dalam
masa itu, sebagaimana dikatakan dalam dua buah hadis yang diriwayatkan
masing-masing oleh Bukhori dan Muslim, seorang sahabat Rasul mengaku telah
melakukan azal, yakni mengeluarkan air mani di luar vagina istri atau yang
lazim disebut saat ini sebagai senggama terputus, namun tidak dilarang oleh
Rasul.
Namun, akhirnya Ibu X mengganti alat kontrasepsi dengan KB
suntik yang sebulan sekali. Walaupun Ibu X sebenarnya agak khawatir, karena
biasanya wanita yang menggunakan KB suntik cenderung mengalami kegemukan,
mengingat fisik Ibu X yang lumayan subur. Karena itu Ibu X memilih menggunakan
suntik yang sebulan sekali dengan harapan masih bisa tetap menstruasi. KB suntik ini memiliki
keuntungan yaitu: sangat efektif, pencegahan kehamilan jangka panjang, tidak
berpengaruh pada hubungan suami istri, tidak memiliki pengaruh terhadap ASI,
mencegah kanker endometrium dan kehamilan ektopik (Saifuddin, 2006).
Pada kasus ibu X ini, ternyata menggunakan KB suntik
jadi masalah reproduksi yaitu pada 1 bulan menstruasi bisa sampai 14 hari dan
terjadi pendarahan terus menerus dan terakhir pendarahan selama 1 bulan.
Akhirnya di Kuret. Setelah di Kuret, ternyata si Ibu X didiagnosa mengidap
Endometrium. Kerugian KB suntik diantaranya pendarahan tidak teratur atau
bercak atau amenore, keterlambatan kembali subur sampai 1 tahun, berat badan
meningkat, dan dapat berkaitan dengan osteoporosis pada pemakaian jangka
panjang. Kegagalan KB suntik ini diakibatkan karena wanita terkadang lupa
dengan jadwalnya untuk melakukan suntik KB pada setiap periodenya, dan juga
dikarenakan kesalahan kerja dari alat suntik KB (Everett, 2007).
Dari pengalaman pribadi Ibu X ini, akseptor KB perlu
berhati-hati dalam penggunaan kontrasepsi. Pertimbangan masak-masak karena ada
banyak kasus kegagalan dalam penggunaan kontrasepsi antara lain gagal KB alias
hamil, pendarahan, perubahan pola haid ataupun iritasi yang biasa terjadi pada
penggunakan kondom. Selain itu perlu konsultasi lebih lanjut apabila memutuskan
KB hormonal seperti suntik maupun pil, dengan memeriksakan tingkat hormon
estrogen dalam tubuhnya. Hal itu perlu dilakukan karena ada banyak kasus wanita
yang menggunakan KB suntik mengalami obesitas atau bahkan berhenti menstruasi
sama sekali. Meminimalkan resiko dari penggunaan alat KB adalah perlu
semata-mata untuk menjaga kesehatan diri bagi para Ibu.
Tampaknya
banyak faktor yang memainkan peran
dalam memprediksi kehamilan yang tidak
diinginkan dan beberapa hasil yang tidak menguntungkan terjadi karena itu. Dengan
demikian, upaya masyarakat ditingkatkan
diperlukan untuk mendidik perempuan tentang keluarga berencana serta tentang penggunaan yang tepat dari
metode keluarga berencana. Peningkatan konseling dan tepat tindak lanjut yang
diperlukan terutama dari para wanita yang mengadopsi metode apapun. Sejak pengobatan
yang tidak tepat, tidak lengkap menindaklanjuti
dan pilihan terbatas metode dapat mengakibatkan perempuan untuk menghentikan metode, oleh karena itu peran kualitas pelayanan jasa yang ada dalam meningkatkan kemampuan perempuan untuk mencapai tujuan
reproduksi mereka inginkan harus diberikan perhatian. Selain meningkatkan kualitas pelayanan keluarga berencana yang ada, harus fokus pada tindak
lanjut perempuan untuk menilai
kepatuhan terhadap metode dan mengatasi masalah
mereka terkait dengan metode
apapun. Hal ini penting untuk
fokus pada bagaimana program intervensi
harus dirancang, disampaikan dan diperiksa. Strategi
intervensi harus bertujuan untuk
mengurangi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan
dengan berfokus pada faktor-faktor
yang diidentifikasi sehingga bayi dan kematian
ibu serta morbiditas dapat diturunkan dan keseluruhan kesejahteraan
keluarga dipertahankan dan ditingkatkan (Ali et. al., 2014).
BAB V SIMPULAN
Pola
Perencanaan KB seperti metode perintang/barrier (kondom,
diafragma, spermisida), metode hormonal (kontrasepsi oral atau pil, kontrasepsi
suntik dan injeksi, implant, IUD hormonal), metode alami / sederhana (metode kalender,
metode amenorea laktasi (MAL), metode suhu tubuh, senggama terputus atau koitus
interuptus, metode darurat. Pada kasus diatas pola perencanaan KB yang
digunakan adalah kondom, IUD dan KB suntik.
Penggunaan
metode kontrasepsi oleh akseptor KB harus memperhatikan pola - pola penggunaan
metode kontrasepsi yang rasional. Pola penggunaan kontrasepsi yang rasional
juga dapat meminimalkan resiko komplikasi, efek samping maupun kegagalan
kontrasepsi yang mungkin terjadi pada akseptor KB.
Ali
SA, Ali SA. 2014. Unmet need for contraception and unintended pregnancies among
women of reproductive age group: A situation analysis. El Mednifico Jour nal 2014, 2(3): 259-265 http://www.mednifico.com/index.php/elmedj/article/view/242.
Dewi
malvana. 2013. Berhati-hati memilih alat kontrasepsi. http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2013/05/08/berhati-hati-memilih-alat-kontrasepsi-558488.html.
Kompasiana.com. diakses pada
15 November 2014
Everett,
Suzanne. 2007. Buku Saku Kontrasepsi dan Kesehatan Seksual reproduktif, Ed.2.
Penerjemah Nike Budhi Subekti. Jakarta: EGC: 198.
Handayani, Sri.
2010. Buku Ajar Pelayanan Keluarga
Berencana. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Hartanto. 2003. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Hartanto, dkk,
editor. 2010. Keluarga Berencana dan
Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Husada, Bakti.
2008. Buku Asuhan Persalinan Normal.
JNPK-KR: Jakarta
Lubis, Ramona D. 2008. Penggunaan Kondom. USU e-Repository
Saifuddin, et
al. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Saifuddin.
(2006). Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Silviana
Kartika Sari, Evi Sri Suryani dan Rohmi Handayani. 2010. Hubungan Konseling Keluarga Berencana (Kb)
dengan Pengambilan Keputusan Pasangan Usia Subur (Pus) dalam Penggunaan Alat
Kontrasepsi. Bidan Prada : Jurnal
Ilmiah Kebidanan, Vol. 1 No. 1 Edisi Desember 2010.
Tao, Meng Hao; Wang Hong Xu; Wei
Zheng; Zuo-Feng Zhang; Yu-Tang Gao; Jia Rong Cheng; Jing Gao; Yong Bing Xiang
and Xiao Ou Shu. 2006. Oral contraceptive and IUD use and endometrial cancer: A
population-based case–control study in Shanghai, China. Int. J. Cancer: 119,
2142–2147 (2006) 2006 Wiley-Liss, Inc.
Uliyah, M. 2010.
Panduan Aman dan Sehat Memilih Alat KB.
Yogyakarta: Insania
Tidak ada komentar:
Posting Komentar