I.
Tuberkulosis
A.
Pengertian
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit granulomatosa kronis
menular yang disebabkan oleh MT. Penyakit ini biasanya mengenai paru,
tetapi dapat menyerang semua organ atau jaringan tubuh, misalnya pada lymph
node, pleura dan area osteoartikular. Biasanya pada bagian tengah
granuloma tuberkel mengalami nekrosis perkijuan (Depkes RI, 2002).
Tuberculosis (TB) adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), yang menyerang terutama paru
dan disebut juga tuberkulosis paru. Bila menyerang organ selain paru (kelenjar
limfe, kulit, otak, tulang, usus, ginjal) disebut tuberkulosis ekstra paru. Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal
0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa
jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant
atau tertidur lama dalam beberapa tahun.
B.
Cara Penularan
Penularan
penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacteriun tuberculosis ditularkan
melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk
dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat
bernapas. Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif, bila
penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil
Tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar
ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke
organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008).
II.
Host,
Agen dan Environtment
Konsep
penyebab dan proses terjadinya penyakit dalam epidemiologi berkembang dari rantai
sebab akibat kesuatu proses kejadian penyakit yakni proses interaksi antara
manusia (pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis, Fisiologis, Psikologis,
Sosiologis dan antropologis) dengan penyebab (agent) serta dengan lingkungan
(Enviroment) (Noor,2000).
Teori John Gordon
mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host), dan lingkungan
(environment). Untuk memprediksi penyakit, model ini
menekankan perlunya analis dan pemahaman masing-masing komponen. Penyakit dapat
terjadi karena adanya ketidak seimbangan antar ketiga komponen tersebut. Model
ini lebih di kenal dengan model triangle epidemiologi atau triad epidemilogi
dan cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi sebab peran agent (yakni
mikroba) mudah di isolasikan dengan jelas dari lingkungan.
A.
Host
Host
atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan arthropoda
yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam. Manusia merupakan reservoar
untuk penularan kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman tuberkulosis
menular melalui droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat
menularkan pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Host
untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang
dimaksud disini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi
penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
1.
Jenis kelamin
Beberapa
penelitian menunjukan bahwa laki-laki sering terkena TB paru dibandingkan
perempuan. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki aktivitas yang lebih
tinggi dibandingkan perempuan sehingga kemungkinan terpapar lebih besar pada
laki-laki (dalam Sitepu, 2009).
2.
Umur
Di
Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif
yaitu 15-50 tahun (Kementrian Kesehatan RI,2010). Karena Pada usia produktif
selalu dibarengi dengan aktivitas yang meningkat sehingga banyak berinteraksi
dengan kegiatan kegiatan yang banyak pengaruh terhadap resiko tertular penyakit
TB paru.
3.
Kondisi sosial ekonomi
WHO
2003 menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok
dengan sosial ekonomi lemah atau miskin (dalam Fatimah,2008).
Penurunan
pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi
konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status
gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga
memudahkan terkena infeksi TB Paru.
4.
Kekebalan
Kekebalan
dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan. Kekebalan
alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis paru dan
secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan diperoleh
sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis Calmette Guerin). Tetapi bila
kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan
penyakit tuberkulosis paru (Fatimah, 2008).
5.
Status gizi
Apabila
kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan berpengaruh pada
daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi kuman tuberkulosis
paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan mengurangi daya tahan tubuh
terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori dan protein serta kekurangan
zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru (dalam Sitepu, 2009).
6.
Penyakit infeksi HIV
Infeksi HIV mengakibatkan
kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) sehingga jika
terjadi infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
penderita tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan
tuberkulosis paru di masyarakat akan meningkat pula.
B.
Agen
Agen adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit
dapat terjadi. Agent dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu
yang abstrak, suasana sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang
merupakan penyebab utama/esensial dalam terjadinya penyakit (Soemirat, 2010).
Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis
adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi.
1. Pathogenitas
adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit pada host.
Pathogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah.
2. Infektifitas
adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan berkembangbiak di
dalmnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman tuberkulosis paru
termasuk pada tingkat menengah.
3. Virulensi
adalah keganasan suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama
virulensi kuman tuberkulosis termasuk tingkat tinggi.
C.
Environment
Lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada di luar dari host (pejamu),
baik benda tidak hidup, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang
terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen tersebut, termasuk host yang
lain (Soemirat, 2010). Faktor lingkungan memegang
peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi
syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh
besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Adapun
syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh
terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain :
1. Lingkungan
yang tidak sehat (kumuh) sebagai salah satu reservoir atau tempat baik dalam
menularkan penyakit menular seperti penyakit tuberkulosis. Peranan faktor lingkungan
sebagai predisposing artinya berperan dalam menunjang terjadinya
penyakit pada manusia, misalnya sebuah keluarga yang berdiam dalam suatu rumah
yang berhawa lembab di daerah endemis penyakit tuberkulosis. Umumnya penularan
terjadi dalam ruangan tempat percikan dahak berada dalam waktu yang lama.
Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung
dapat membunuh kuman (Keman, 2005) .
2. Kepadatan Penghuni Rumah
Ukuran luas
ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru. Disamping
itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru Bradbury mendapat kesimpulan secara
statistik bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar diakibatkan oleh
keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya. Semakin padat penghuni
rumah akan semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami
pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh
terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan
suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan
memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium
tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh
penghuni rumah melalui saluran pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan
Republik Indonesia (1994), kepadatan penghuni diketahui dengan membandingkan
luas lantai rumah dengan jumlah penghuni, dengan ketentuan untuk daerah
perkotaan 6 m² per orang daerah pedesaan
10 m² per orang.
3.
Kelembaban Rumah
Kelembaban udara dalam rumah
minimal 40% – 70 % dan suhu ruangan yang ideal antara 18°C – 30°C. Bila
kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada
cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya,
bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang
tertentu dapat menimbulkan alergi.
Hal ini perlu diperhatikan
karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme
antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut
dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara ,selain itu kelembaban yang tinggi
dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering seingga kurang efektif
dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat merupakan
media yang baik untuk bakteri-baktri termasuk bakteri tuberkulosis
(Keman, 2005).
Kelembaban di dalam rumah
menurut Depatemen Pekerjaan Umum (1986) dapat disebabkan oleh tiga faktor,
yaitu :
a.
Kelembaban yang naik dari
tanah ( rising damp )
b.
Merembes melalui dinding ( percolating
damp )
c.
Bocor melalui atap ( roof
leaks )
Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase atau
saluran air di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambungan pondasi
dengan dinding harus kedap air, atap tidak bocor dan tersedia ventilasi yang
cukup.
4. Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi
selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan
dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Menurut
indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan
adalah = 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10%
dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida
yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi
akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses
penguapan cairan dai kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yan tinggi akam
menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri
patogen termasuk kuman tuberkulosis.
Tidak adanya ventilasi yang
baik pada suatu ruangan semakin membahayakan kesehatan atau kehidupan, jika
dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran oleh bakteri seperti oleh penderita
tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau anorganik.
Ventilasi berfungsi juga
untuk membebaskan uadar ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen
seperti tuberkulosis, karenadi ventilasi selalu terjadi aliran udara yang terus
menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar
matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di
dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan
(Keman, 2005).
5.
Pencahayaan Sinar Matahari
Cahaya matahari selain
berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Sinar
matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan
mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari masuk
ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar matahari
pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman (Depkes RI, 1994).
Kuman tuberkulosis dapat
bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari ,
sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang tidak dapat di masuki sinar
matahari maka penguninya mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali
dibandingkan dengan rumah yang dapat dimasuki sinar matahari.
6. Lantai rumah
Komponen yang harus dipenuhi
rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah
memiliki peran terhadap proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban
dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas
lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi
penghuninya.
7. Dinding
Dinding berfungsi sebagai
pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh
panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya.
Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau
batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik
adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan
kedap air sehingga mudah dibersihkan (Keman, 2005).
D.
Hubungan
Host, Agen, dan Environment
Dari
keseluruhan unsur di atas, di mana hubungan interaksi antara satu dengan yang
lainnya akan menentukan proses dan arah dari proses kejadian penyakit, baik
pada perorangan, maupun dalam masyarakat. Dengan demikian maka terjadinya suatu
penyakit tidak hanya di tentukan oleh unsur penyebab semata, tetapi yang utama
adalah bagaimana rantai penyebab dan hubungan sebab akibat di pengaruhi oleh
berbagai faktor maupun unsur lainnya. Oleh karena itu, dalam setiap proses
terjadinya penyakit, selalu memikirkan adanya penyebab jamak (multiple
causational). Hal ini sangat mempengaruhi dalam menetapkan program pencegahan
maupun penanggulangan penyakit tertentu. Usaha tersebut akan memberikan hasil
yang di harapkan bila dalam perencanaannya memperhitungkan berbagai unsur di
atas (Noor.2002).
III.
Riwayat
Alamiah Penyakit
Menurut
Depkes RI (2008) riwayat alamiah pasien tuberkulosis yang tidak diobati,
setelah 5 tahun sebesar 50% akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya
tahan tubuh yang tinggi, dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.
A.
Sub
Klinis
B.
Klinis
Gejala
klinis penyakit Tuberculosis, yaitu:
1.
Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila
organ yang terkena adalah paru maka gejala
lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat),
dimana gejala tersebut adalah batuk lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, sesak
nafas dan nyeri pada bagian dada. Gejala ini sangat bervariasi: tegantung dari
berat atau tidaknya luas lesi yang ditimbulkan oleh kuman tersebut. Gejala
Sistemik, dapat berupa demam, keringat malam, anoreksia, dan berat badan
menurun.
2.
Gejala tuberkulosis
ekstra paru, misalnya pada lifadenitis
tuberkulosis akan terjadi pembesaran pada organ limfa, pada meningitis
tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sesuai dengan organ yang
terserang.
Riwayat alamiah penyakit Tuberkulosis, apabila tidak mendapatkan
pengobatan sama sekali, dalam kurun waktu lima tahun adalah sebagai berikut:
a.
Pasien 50 % meninggal
b.
25% akan sembuh dengan daya
tahan tubuh yang tinggi
c.
25 % menjadi kasus kronik
yang tetap menular.
IV.
Pencegahan
Penyakit
Upaya
pencegahan adalah upaya kesehatan yang dimaksudkan agar setiap orang terhindar
dari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran
penyakit. Tujuannya adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya penyakit yaitu penyebab penyakit (agent), manusia atau tuan
rumah (host) dan faktor lingkungan (environment) (Notoatmodjo,
2007).
Upaya
pencegahan dan pemberantasan tuberkulosis secara efektif diuraikan sebagai
berikut: 1) melenyapkan sumber infeksi, dengan: a) penemuan penderita sedini
mungkin; b) isolasi penderita sedemikian rupa selama masa penularan/penderita
tersebut masih dapat menular; c) segera diobati; 2) memutuskan mata rantai
penularan; 3) pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit
tuberkulosis paru (Depkes RI, 2008).
Menurut Leavell & Clark dalam bukunya “Preventive
Medicine for The Doctor in his Community” membagi usaha pencegahan penyakit yang dapat dilakukan
pada masa sebelum sakit dan pada masa sakit. Usaha-usaha tersebut adalah sebagai berikut:
A. Masa sebelum sakit (pre patogenesis phase)
1.
Mempertinggi nilai kesehatan (Health
Promotion).
Merupakan suatu
usaha pencegahan penyakit melalui usaha mengatasi atau mengontrol faktor-faktor
risiko (risk factors) dengan sasaran
utamanya orang sehat melalui usaha peningkatan derajat kesehatan secara umum
(promosi kesehatan). Usaha peningkatan derajat kesehatan (health promotion) atau pencegahan umum yakni meningkatkan derajat
kesehatan perorangan dan masyarakat secara optimal, mengurangi peranan,
penyebab dan derajat risiko serta meningkatkan lingkungan yang sehat secara
optimal. Adapun usaha untuk pencegahan khusus (specific protecton) merupakan usaha yang terutama ditujukan kepada
pejamu dan/atau pada penyebab untuk meningkatkan daya tahan maupun untuk
mengurangi risiko terhadap penyakit tertentu (Noor, 2008).
Ada dua macam
strategi pokok dalam usaha pencegahan yakni: (1) strategi dengan sasaran
populasi secara keseuruhan dan (2) strategi dengan sasaran hanya terbatas pada
kelompok risiko tinggi (high risk group)
yang keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya. Strategi pertama mempunyai
sasaran lebih luas sehingga lebih bersifat radikal, mempunyai potensi yang
besar pada populasi dan sangat sesuai untuk sasaran perilaku. Namun, secara
individual kurang bermanfaat, dan rasio antara manfaat dengan tingkat risiko
mungkin cukup rendah. Pada strategi kedua, sangat mudah diterapkan secara
individual, motivasi subjek dan pelaksana cukup tinggi, serta rasio antara
manfaat dengan tingkat risiko cukup baik. Tetapi juga memiliki kelemahan,
antara lain sulit memilih kelompok dengan risiko tinggi, efeknya sangat rendah
dan hanya bersifat temporer serta kurang sesuai untuk sasaran perilaku (Noor,
2008).
Bila sasaran
ditujukan pada unsur penyebab maka usaha diutamakan dalam mengurangi atau
menghilangkan sumber penyebab penularan penyakit Tuberkulosis dan menghindari
atau mengurangi setiap faktor, terutama faktor perilaku yang dapat memperbesar
tingkat risiko penularan penyakit Tuberkulosis. Untuk penyakit menular dengan
sasaran khusus ditujukan pada penyebab kausal seperti desinfeksi, sterilisasi,
pasteurisasi, karantina, dan lain-lain. Sedangkan untuk penyakit tidak menular
(bukan infeksi) dengan jalan menghilangkan sumber alergen, sumber keracunan,
dan sumber pencemaran kimiawi maupun radiasi (Noor, 2008).
Bila sasaran
ditujukan pada lingkungan maka sasarannya dapat ditujukan pada lingkungan fisik
seperti rumah sehat dan lingkungan bersih. Juga sasaran dapat dilakukan
terhadap lingkungan biologis seperti pemberantasan kuman atau bakteri. Atau
ditujukan pada lingkungan sosial melalui perbaikan dan peningkatan derajat
kesehatan masyarakat (Noor, 2008).
2.
Memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (spesific
protection).
Adapun sasaran
pencegahan tingkat pertama ini dapat pula ditujukan pada faktor penjamu seperti
perbaikan gizi, pemberian imunisasi, peningkatan kehidupan sosial dan
psikologis individu dan masyarakat serta peningkatan ketahanan fisik individu.
Perlindungan khusus terhadap penyakit Tuberkulosis dilakukan dengan beberapa
cara sebagai berikut:
B. Masa sakit (patogenesis
phase)
3.
Mengenal dan mengetahui penyakit pada tingkat
awal serta mengadakan pengobatan yang tepat dan segera (Early diagnosis &
Promt Treatment).
a.
Penemuan
Penderita Tuberkulosis Pada Orang Dewasa
Penemuan penderita TB Paru
dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan
pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara
pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case
finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi aktif).
Selain itu, semua kontak
penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
Seorang petugas kesehatan diharapkan menemukan tersangka penderita sedini
mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat
mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen
dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
b. Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Orang
Dewasa
Diagnosis TB paru pada orang
dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua tiga
spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau emeriksan dahak SPS
diulang.
1)
Kalau hasil rontgen
mendukung TB Paru, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA
positif.
2)
Kalau hasil rontgen tidak
mendukung TB Paru. Maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan
lain, misalnya biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan
antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 – 2
minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB
Paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
1)
Kalau hasil SPS positif,
didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif.
2)
Kalau hasil SPS tetap
negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB
Paru.
a)
Bila hasil rontgen
mendukungTB Paru, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA negatif Rontgen
positif.
b)
Bila hasil rontgen tidak
mendukung TB Paru, penderita tersebut bukan TB Paru.
UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk
untuk foto rontgen dada.
c.
Pembatasan kecacatan dan berusaha untuk
menghilangkan gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan sesuatu penyakit
(Disability Limitation).
d.
Rehabilitasi (Rehabilitation).
Di Indonesia pada saat ini, uji
tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB Paru pada orang
dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis karena tingginya prevalensi TB Paru. Suatu uji tuberkulin
positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium
tuberculosis. Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun
orang tersebut menderita tuberkulosis, misalnya pada penderita HIV/AIDS, malnutrisi
berat, TB Paru milier dan morbili.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan ke 8. Jakarta. 2002. p 1-37.
Depkes
RI, 2007.
Widoyono,
2008.
Sitepu,
2009.
Fatimah,2008
Soemirat, Juli, 2010, Epidemiologi Lingkungan, Yogyakarta :
Gajah Mada
Uniersity
Press
Kementrian
Kesehatan RI,2010.
Nur nasry noor,2000.Dasar epidemiologi,Rineka
cipta.Jakarta
Notoatmodjo,
S, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar,
Jakarta: Rineka Cipta.
Keman,
Soedjajadi, 2005, Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman, Journal
Kesehatan Lingkungan , Vol. 2, No. 1, Juli 2005
Departemen
Kesehatan RI, 1994, Pengawasan Kualitas Kesehatan Lingkungan dan
Pemukiman, Dirjen P2M & PLP, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar